3 Pekerjaan Rumah Presiden Terpilih 2024

Indonesia segera memiliki presiden baru hasil dari Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang akan digelar pada 14 Februari mendatang.

Presiden terpilih sudah dihadapkan dengan tiga pekerjaan rumah, yakni APBN, utang dan tax ratio rendah.

Tax ratio tahun 2022 tercatat 10,4 persen (Audited). Pada 2023 turun menjadi 10,2 persen (unaudited).

Tahun 2024 perkiraan Menteri Keuangan, Sri Mulyani menjadi 9,53 persen, tahun 2025 10,12 persen, 2026 sekira 10,31 persen dan 2027 menjadi 10,41 persen.

“Dari data-data di atas bisa dipertanyakan mengapa tax ratio Indonesia tidak bisa mencapai angka maksimal seperti periode pemerintahan sebelumnya,” kata Dirjen Pajak periode 2001-2006, Dr. Hadi Poernomo dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (7/2).

Sekarang, yang dihitung adalah SPT di mana petugas pajak tidak mempunyai monitoring untuk menguji benarkah jumlah, item, sumber-sumber keuangan di SPT.

“Dari situlah timbul terus persoalan seolah-olah terjadi macam-macam. Padahal itulah kesempatan yang diberi UU, untuk tidak ditutup,” ujarnya.

Hadi juga menjelaskan bahwa dalam UU No 9/2017 menyatakan rahasia perbankan tidak berlaku bagi Perpajakan. Demikian pula untuk Rahasia bagi penanaman modal dan bank syariah, juga tidak berlaku untuk hal Perpajakan.

“Itulah kekuatan dari Undang-undang Perpajakan sekarang. Kalau saja semua pihak melaksanakan hal hal itu sesuai dengan Undang-undang, maka seharusnya tax ratio Indonesia akan tinggi sekali,” jelasnya.

Sementara itu, Wakil Rektor Universitas Paramadina, Dr. Handi Risza menuturkan, banyak negara yang mengalami kegagalan dalam mengelola utangnya seperti Yunani, Argentina, Venezuela, Ekuador dan Sri Lanka.

Padahal, kata dia, beberapa negara di Amerika Latin seperti Venezuela mempunyai sumberdaya minyak bumi yang memadai, tetapi hal tersebut tidak berdampak besar sehingga tetap memiliki utang.

Handi mengambil contoh kasus lain yang tak kalah mengkhawatirkan, yakni Whoosh atau Kereta Cepat Jakarta-Bandung semula dianggarkan 7 miliar USD kemudian membengkak signifikan menjadi 11 miliar USD.

Menurutnya, jika tidak hati-hati dan segera melunasi utang, maka khawatir kasus yang terjadi pada Pelabuhan Hambantota di Srilanka akan terjadi juga di Indonesia.

Menurutnya, kunci utama pengelolaan utang patut dicontoh dari Jepang, Korea dan Tiongkok adalah penegakan hukum yang kuat, budaya malu untuk melakukan penyimpangan keuangan negara dan pengendalian fiskal yang ketat terhadap utang.

“Selama tujuh tahun terakhir, terhitung sejak 2017 hutang Indonesia memiliki kecenderungan naik secara signifikan. Hingga puncaknya, kenaikan tersebut semakin terlihat dengan jelas pada tahun 2020-2023,” tambahnya.

Handi mengingatkan bahwa pada periode Presiden SBY, mewariskan utang negara kepada Jokowi sebesar Rp 2.608,7 triliun. Namun kurang dari 10 bulan sebelum masa akhir pemerintahan Presiden Jokowi, posisi utang Indonesia telah mencapai angka Rp8,041 triliun atau naik 4 kali lipat dalam 10 tahun terakhir.

Beban utang yang ditanggung oleh APBN secara total yang mencakup pokok dan bunga sekitar Rp 500 triliun tiap tahun dan hal tersebut sangat membebani APBN. Sehingga wajar saja balance budget negara tidak kunjung positif, karena penarikan utang baru sebagian besar digunakan untuk menutupi pembiayaan-pembiayaan utang yang sedang berjalan.

Di sisi lain, Ketua Center Ekonomi Digital dan UKM INDEF, Eisha M Rachbini melihat perkembangan APBN 2023 sebagai bentuk Realisasi Penerimaan Negara yakni Pajak Penerimaan Pajak Rp 1.869 T (tumbuh 8 persen yoy). PPh Non migas sebesar Rp 993 T (53,1 persen dari total penerimaan pajak), tumbuh 7,9 persen.

Komponen PPh Badan (tumbuh 20 persen) , PPh 21 (tumbuh 15.5 persen) PPh Final (tumbuh 25 persen). PPN/PPnBM sebesar Rp 764 T (40,89 persen dari total penerimaan pajak, tumbuh 11 persen yoy), PPN DN (tumbuh 22%) dan PPN Impor tumbuh 5,5 persen.

“Penerimaan Bea Cukai Menurun yakni Penerimaan Cukai (-2,23 persen) seputar masalah rokok ilegal. Bea Masuk (-0,47 persen) seputar penurunan nilai impor. Bea Keluar (-66,03 persen) seputar harga sawit rendah, tembaga dan bauksit juga rendah,” kata Eisha.

Realisasi penerimaan negara lain seputar PNBP meningkat: Setoran dividen BUMN seputar PNBP Kekayaan Negara Dipisahkan. Penerimaan SDA Non-Migas 14,96 persen seputar kenaikan tarif royalti batubara (walaupun harga komoditas turun).

PNBP lainnya yakni NBP K/L. PNBP turun: SDA Migas seputar harga minyak ICP menurun (-21 persen pendapatan SDA). Penerimaan BLU (- 0,52 persen) seputar harga CPO turun BPDPKS pendapatannya turun. PNBP Lainnya: Penjualan hasil tambang – 8,52 persen seputar pendapatan batubara menurun.

“Tax Ratio mengalami tren menurun sejak tahun 1980. Tax ratio pada tahun 2022 sebesar 10,4%. Tax Ratio 2023 mengalami penurunan menjadi 10,21%” tambah Eisha.

Eisha juga memberikan pembanding lainnya “Tax Ratio Indonesia (2021) berada di bawah negara Asia Pacific (20%) dan Tiongkok (21 persen). Dibandingkan negara ASEAN, Vietnam, Filipina, Kamboja berkisar di level 18 persen, dan Thailand 16 persen. Sedangkan Jepang memiliki tax ratio 33 persen dan OECD 34 persen,” pungkasnya.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini