Tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo kondisi pengakan hukumdinilai belum maksimal. Bahkan, reformasi Polri demi meningkatkan kepercayaan publik belum berhasil.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Fitri Maulidiyanti menilai, reformasi Polri yang mendesak tak kunjung ditunaikan oleh pemerintahan Presiden Jokowi.
Padahal, menurut dia, tindakan oknum kepolisian kekerasan dan pelanggaran telah berimplikasi pada kerugian di masyarakat.
“Anggota di lapangan berpotensi kerap melakukan pelanggaran,” kata Fitria di Jakarta, Jumat (21/10).
Bahkan, Kontras menilai, ruang kebebasan sipil terus menyempit dalam tiga tahun pemerintahan Jokowi-Maruf. Hal ini, ditunjukkan dengan penggunaan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hingga dugaan kriminalisasi oleh pejabat negara.
“Kami menilai bahwa eskalasi menyempitnya ruang kebebasan sipil terus terjadi ditunjukkan dengan penggunaan UU ITE hingga kriminalisasi oleh pejabat negara,” bebernya Fatia.
Dia juga menyatakan, represi terus menerus dilanjutkan terhadap mereka yang kritis baik dalam ranah publik ataupun digital, bahkan aktornya tidak hanya berasal dari aparat.
“Begitupun serangan dan kriminalisasi terhadap Pembela HAM semakin membuat mereka dalam kerentanan,” ungkap Fatia.
Fatia juga menilai, Jokowi tak kunjung berhasil menyelesaikan situasi kemanusiaan di Papua.
“Situasi di Papua kian memburuk dengan pemaksaan kepentingan dan berlanjutnya eskalasi kekerasan,” imbuh dia.
Alih-alih membuka dialog, lanjut Fatia, pemerintah justru menempuh jalan represi saat terjadi penolakan terhadap RUU Otsus Papua dan RUU DOB. “Pendekatan keamanan seperti ini tentu harus dihentikan,” tutup Fatia.
Kontras pun mendesak Jokowi segera memperbaiki kinerja pemerintahannya dalam segi penegakan hukum.
Salah satunya mereformasi kultur penegak hukum hingga meninggalkan pendekatan represif dalam melakukan penertiban