Oleh: Fathor Rasi, Alumnus Paramadina
Hampir semua pengamat politik berkesimpulan bahwa debat capres dengan tema pertahanan, keamanan, geopolitik, dan hubungan internasional semalam berlangsung sengit dan tajam.
Terutama rivalitas capres 01 Anies Baswedan vs capres 02 Prabowo Subianto yang sedari awal tampil ofensif dengan menyerang policy Menhan yang disebut telah menghabiskan anggaran hampir Rp 700 triliun dalam kurun waktu 5 tahun.
Sementara capres 03 Ganjar Pranowo seakan tampil sebagai penengah di antara dua capres yang “bertikai”.
Ketiga kandidat capres tersebut “bertengkar” pikiran mengenai isu geopolitik global dan regional, terutama terkait Laut China Selatan (LCS) dan Taiwan sebagai hotspot atau titik panas pertikaian Amerika Serikat vs China dalam berebut pengaruh di kawasan.
Di sisi lain, tuntutan bahwa Indonesia harus menjadi middle power untuk menjaga perdamaian di kawasan ASEAN dan Indo Pasifik hampir disepakati oleh seluruh capres.
Dari keempat tema debat tersebut, secara garis besar Capres 01 menekankan pada pentingnya presiden sebagai panglima diplomasi untuk mengembalikan Indonesia pada kancah konstelasi global sehingga RI menjadi penentu arah perdamain regional dan global.
Sedangkan Prabowo secara garis besar menekankan pada penguatan industri pertahanan berbasis artificial intelligence, penguatan SDM, dan hilirisasi segala bidang untuk memperkuat ekonomi hankam.
Adapun Ganjar yang tampil sebagai penengah rivalitas debat Anies vs Prabowo, meskipun pada akhirnya ikut “menyerang” kebijakan Menhan melalui data-data yang disiapkan secara matang menekankan pada digitalisasi bidang pertahanan.
Lebih keras lagi, Ganjar menyinggung karya John Perkins dalam Confession of the Economics Hitman bahwa hutang erat kaitannya dengan kedaulatan negara dan mematikan yang berujung pada slogan “no utang, no using”.
“Sistem pertahanan debat” Prabowo
Tulisan ini sengaja fokus pada Capres Prabowo tak lain karena hingga kini menjabat sebagai Menhan aktif dan dianggap paling menguasai materi debat, terutama bidang pertahanan.
Di sisi lain, Menhan Prabowo telah menjalankan berbagai kebijakan pertahanan dengan anggaran mencapai triliunan.
Debat sejatinya adalah “perang” pikiran dan argumentasi yang membutuhkan pasokan “alutsista” data, retorika, dan kemampuan membaca dinamika ancaman serta geopolitik terkini.
Sedangkan sistem debat berarti seperangkat unsur yang dibutuhkan untuk memenangkan perang pikiran dan argumentasi yang saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas argumentasi yang kuat logis dan diterima khalayak.
Sistem debat setidaknya berpijak pada tiga aspek, yakni stabilitas emosi, kemampuan berargumen secara efektif dan akurasi data.
Ketiga hal tersebut menjadi penting bagi Presiden RI terpilih sebagai menjadi panglima kebijakan politik luar negeri bebas aktif yang selama ini cenderung “bebas pasif”.
Pertama, jika mencermati sistem pertahanan debat Prabowo dari aspek emosi maka terlihat guncangan ketika Anies menyerang kepemilikan sebesar 340 hektar lahan di tengah isu minimnya kesejahteraan prajurit TNI.
Olengnya sistem pertahanan debat Prabowo tersebut tersebut nyata terlihat ketika capres 02 itu menyela Anies yang berujung pada teguran moderator dan memintanya untuk tidak menginterupsi karena ada sesinya untuk merespons pernyataan lawan debat.
Stabilitas emosi menjadi penting bagi mereka yang sedang perang pikiran di ruang publik, apalagi ditonton jutaan rakyat. Kharisma dan kredibilitas pemimpin yang emosional akan mudah runtuh dan berpotensi diframing negatif oleh pendukung rival debat.
Kedua, dari aspek argumentasi yang efektif dan substantif masih menjadi kendala bagi Prabowo sehingga akan sulit mempengaruhi meyakinkan audiens. Ini karena debat merupakan seni berargumentasi secara efisien untuk memperkuat validitas argumen.
Seni berargumentasi berarti menuntut kemampuan retorika dan menyusun argumen substansial sehingga ide yang disampaikan jelas dan lugas. Debat disebut seni karena melibatkan unsur kreativitas dalam menyampaikan hal yang substansial meyakinkan orang lain dalam waktu yang singkat.
Ini penting bagi para pemimpin nasional, terutama bagi presiden sebagai penyuara kebijakan politik bebas aktif yang disokong oleh diplomasi di forum-forum global dan regional.
Ajakan “ngopi-ngopi” Prabowo untuk menjelaskan policy Kemenhan di luar forum yang disediakan mencerminkan inefisiensi Menhan dalam berargumentasi pada debat semalam.
Ketiga adalah aspek akurasi data serta mengolahnya sebagai basis dalam membangun argumentasi sehingga publik menganggap argumentasi informasi yang disampaikan sahih dan relevan.
Beberan data, fakta dan statistik dapat meyakinkan rakyat yang menonton debat sehingga yang disampaikan bukan sentimen melainkan argumen.
Terkait data bidang Hankam tersebut, Capres 03 Ganjar Pranowo terkesan paling siap. Fakta dan data merupakan alutsista penting dalam sistem debat sehingga calon pemimpin dapat memenangkan perang argumen dan retorika.
Alhasil, jika melihat dinamika debat capres-cawapres yang sudah berjalan, maka mencari damai dan kawan dalam debat akan sia-sia belaka. Hampir bisa dipastikan tidak ada kata “damai” selama debat berlangsung karena debat sendiri adalah “perang” argumen. Ini sejalan dengan adagium Latin “Si Vis Pacem Para Bellum”.
Dalam konteks debat capres-cawapres, ini berarti jika mengimpikan damai dalam debat, maka juga harus tetap siap “perang argumen” sehingga tetap perform dengan tenang penuh senyuman. Ini akan berkonsekuensi pada sistem pertahanan debat yang solid, kuat dan mampu meraih simpati rakyat.