Hingga saat ini gelar dan jabatan akademis yang melekat pada seseorang masih menjadi sesuatu yang diinginkan bagi sebagian orang. Sebagian orang yang merasa bahwa tersematnya gelar yang melekat pada nama untuk digunakan dalam setiap momentum seperti menambah spotlight dan tingginya level panggung eksistensi. Mengapa demikian? meski bukan hal yang tidak mungkin, saya termasuk percaya melihat sejumlah orang yang berhasil memiliki gelar berderet melebihi orang-orang pada umumnya. Pada kasus tertentu, memang benar terdapat orang-orang yang dianugerahi tingkat kecerdasan berlebih yang jika ikut menjadi peserta clash of champions bakal digadang-gadang menjadi juara.
Namun disisi lain melihat fenomena yang terjadi. Bukan hanya saat ini saja tapi keresahan yang mungkin sudah ada dalam beberapa waktu ke belakang. Seseorang yang bergelar panjang dan berderet namun tetap memiliki kegiatan yang tak kalah padat kesibukannya masih kita temui di sekitar kita. Hal yang kemudian menyisakan satu pertanyaan mendasar. Kapan orang tersebut belajar atau mendedikasikan waktunya dalam hal pendidikan, sementara setiap hari beliau-beliau ini melaksanakan kegiatan pekerjaannya secara full time di luar bidang akademik.
Salah satu episode podcast Bocor Alus Politik dari media Tempo baru-baru ini pernah ‘memainkan’ isu terkait jabatan akademik profesor dari para politisi Indonesia yang dianggap janggal. Terdapat fakta bahwa sejumlah pejabat yang mendapat gelar profesor dalam waktu cepat terindikasi loncat jabatan dengan mengakali aturan penerbitan artikel di jurnal ilmiah. Terdapat juga pembahasan adanya komplotan tim reviewer di Kementerian yang membidangi sehingga meloloskan guru besar. Usut punya usut, politisi yang bertengger di senayan tersebut mengakui bahwa dirinya sedang meloby sang Menteri untuk dibantu agar mendapat diskresi, padahal secara administratif terdapat syarat-syarat yang belum terpenuhi. Adanya Skandal guru besar terungkap karena ada penelusuran di internal Kementerian khususnya di salah satu kampus yang dekat dengan IKN.
Gerakan Tolak Obral Profesor
Tak butuh waktu lama sejak isu tersebut kembali mencuat ke publik, sejumlah respon bermunculan menanggapi fakta yang tergolong miris tersebut. Salah satunya muncul dari Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fathul Wahid. Melalui unggahan di Instagram, dirinya secara terang-terangan menolak gelar akademiknya dicantumkan di dokumen kampus, kecuali ijazah. Sikap tersebut merupakan bentuk konkrit dirinya dalam menolak fenomena obral profesor yang bisa diraih dengan menghalalkan segala cara. Selain bentuk protes, hal tersebut juga disebut sebagai upaya mendesakralisasi jabatan profesor di Indonesia. Akibat seseorang menjadi profesor karena sebab dirinya menyelesaikan pekerjaan rumah yang memerlukan sikap amanah dan tanggung jawab besar kepada publik. Dengan demikian diharapkan jabatan tersebut tidak kemudian dikejar-kejar tanpa etika bahkan menghalalkan segala upaya. Gerakan serupa juga diharapkan dilakukan di kampus lain sebagai bentuk protes dari fenomena obral professor.
Gayung bersambut, gerakan tersebut mendapat ‘rispek’ dari publik hingga diikuti oleh kampus lain, setidaknya dari 2 kampus besar berikut. Pertama, Universitas Airlangga (Unair) Surabaya melalui Rektornya yakni M. Nasih pada 19 Juli 2024 yang menyampaikan kepada tenaga pendidik di kampusnya agar tidak mencantumkan gelar pada namanya di beberapa dokumen atau surat, kecuali tugas akademis. Menurutnya, upaya tersebut lebih mengarah pada sakralisasi seorang guru besar, sehingga jangan sampai orang yang belum waktunya mendapatkannya namun sudah mengenakan gelar profesor. Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Rektor Universitas Pembangunan Nasional Veteran (UPNJ), Anter Venus pada 20 Juli 2024 lalu bahwa kampusnya sudah lama tidak mencantumkan gelar pada nama, surat, dokumen, termasuk bersurat dengan Kemendikbudristek. Dirinya menyayangkan bahwa pengakuan publik seolah lebih penting daripada substansi masalah, padahal di luar negeri jabatan atau gelar adalah hal biasa. Menjadi profesor adalah jenjang karir bagi seorang dosen, bukan politisi atau pengusaha misalnya.
Seribu Wajah Dunia Pendidikan Indonesia
Merujuk pada beberapa artikel yang sempat terbit di Mojok.co pernah dibahas sejumlah kasus terkait polemik dunia pendidikan di Indonesia, terutama berkaitan dengan ‘perebutan’ gelar atau jabatan yang kerap menjadi tiket upgrade class eksistensi seseorang.
Selain Unpad yang kerap diplesetkan sebagai Universitas Pasti Doktor, terdapat Universitas Brawijaya (UB) Malang yang pada awal tahun 2023 disebut menerapkan program flash sale karena memberikan tiga kali gelar Doktor Kehormatan (Honoris Causa) kepada pejabat publik serta politisi seperti Menteri BUMN Erick Tohir, Menteri LHK Siti Nurbaya, dan Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh. Aliansi Mahasiswa Resah (Amarah) dalam tuntutannya meminta UB untuk mempertahankan marwah dan integrasinya sebagai lembaga pendidikan. Menurut Permenristek Dikti No.56 tahun 2016, pemberian gelar HC harus didasari atas karya atau jasa luar biasa dalam ilmu pengetahuan, teknologi, atau kemanusiaan.
Gelar profesor kehormatan juga pernah menjadi isu di lingkup akademia kampus biru Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada akhir 2022 lalu ketika terdapat aksi penolakan 343 dosen dari 14 fakultas yang membubuhkan tanda tangan pernyataan penolakan. Penolakan tersebut menegaskan bahwa gelar profesor kehormatan adalah jabatan akademik, bukan jabatan publik. Mereka yang menyandang gelar tersebut harus melaksanakan kegiatan akademik, sehingga sulit kondisinya untuk terpenuhi jika gelar tersebut disandang oleh orang yang berada di sektor non-akademik.
Kekhawatiran ratusan dosen tersebut bukan tanpa dasar, sebab rentetan kejadian sebelumnya pernah terjadi hal demikian. Bahwa gelar HC tak diberikan kepada akademisi.
Pemberian gelar kehormatan pada politisi kemudian seperti menjadi hal lazim bahkan terkesan diobral. Ketiadaan syarat spesifik merujuk pada Permenristekdikti Nomor 65/2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan dengan syarat dari masing-masing kampus menjadi rentan untuk dipolitisasi. pemberian gelar pernah diberikan oleh Universitas Negeri Semarang (Unnes) kepada mantan narapidana korupsi Nurdin Halid, juga pernah mendapat gelar kehormatan dari Universitas Diponegoro, serta Muhaimin Iskandar yang mendapat HC dari Universitas Airlangga. Tidak habis pikir, apakah tokoh lain sudah habis stock sampai mantan narapidana diberi gelar.
Terdapat anomali yang sungguh tak dimengerti sedang terjadi di dunia pendidikan dalam negeri. Belum lagi permasalahan penulisan jurnal yang kerap terungkap kasus karena plagiasi secara manual atau hasil karya AI. Maka jangan salahkan para mahasiswa yang sejak dini telah mengenal dan menggunakan jasa joki skripsi jika pada akhirnya di hulu akademisi, gelar kehormatan yang diterima bukan dari para akademisi.