Oleh: Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik dan Ekonom UPN Veteran Jakarta
Impor beras Indonesia yang membengkak menjadi 5,17 juta ton tahun ini mencerminkan kebijakan ketahanan pangan yang lebih menekankan pada ketahanan semata, tanpa fokus pada kemandirian pangan.
Kebijakan ini, yang mempermudah impor untuk menyenangkan mafia impor dan konsumen, mengakibatkan kerugian bagi produsen lokal, khususnya petani dan pekerja yang mengolah hasil pertanian.
Mengapa ini terjadi
Pemerintah Indonesia tampaknya lebih fokus pada stabilitas pasokan dan harga beras di pasar domestik melalui impor. Ketika produksi beras dalam negeri tidak mencukupi, solusi cepat yang diambil adalah impor beras.
Langkah itu, diambil guna mencegah kenaikan harga beras yang dapat memicu inflasi dan kerusuhan sosial. Namun, kebijakan ini tidak menyentuh akar masalah, yaitu rendahnya produktivitas pertanian domestik akibat kurangnya dukungan dan investasi di sektor pertanian.
Ketergantungan pada impor juga diakibatkan oleh praktik korupsi dan keberadaan mafia impor yang mencari keuntungan dari kebijakan ini. Mafia impor ini mendapatkan keuntungan besar dari mark up harga impor beras, yang kemudian dibebankan pada negara dan konsumen.
Skandal mark up impor beras senilai Rp8,5 triliun baru-baru ini menunjukkan bagaimana praktik-praktik ini dapat merugikan negara secara finansial dan merusak kepercayaan publik terhadap kebijakan pangan pemerintah.
Kebijakan pangan salah arah
Kebijakan pangan pemerintah yang terlalu berfokus pada ketahanan pangan tanpa memperhatikan kemandirian pangan telah menyebabkan ketergantungan yang berlebihan pada impor.
Dalam jangka pendek, kebijakan ini memang bisa menstabilkan pasokan dan harga beras, namun dalam jangka panjang, kebijakan ini merugikan produsen lokal. Petani dan pekerja di sektor pertanian mengalami kerugian karena mereka tidak dapat bersaing dengan beras impor yang lebih murah.
Selain itu, penyaluran bantuan sosial (bansos) pangan beras oleh Bapanas dan Bulog yang seharusnya menjadi tugas Kementerian Sosial (Kemensos) juga mencerminkan kurangnya fokus dan koordinasi dalam kebijakan pangan.
Pemerintah juga tampaknya kurang berinvestasi dalam peningkatan produktivitas pertanian domestik. Kurangnya dukungan dalam bentuk teknologi pertanian, penyuluhan bagi petani, dan infrastruktur pertanian yang memadai membuat produksi beras lokal tetap rendah.
Sistem irigasi yang buruk, jalan pertanian yang rusak, dan fasilitas penyimpanan yang tidak memadai mengakibatkan banyak hasil panen yang rusak sebelum mencapai pasar. Selain itu, minimnya riset dan pengembangan di sektor pertanian membuat petani sulit beradaptasi dengan perubahan iklim dan penyakit tanaman yang dapat mengurangi hasil panen.
Rekomendasi dan solusi
Untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan mencapai swasembada beras, pemerintah perlu melakukan reformasi kebijakan pangan yang lebih berfokus pada kemandirian pangan. Berikut adalah beberapa rekomendasi dan solusi yang dapat diambil:
Peningkatan Produktivitas Pertanian: Pemerintah harus meningkatkan investasi dalam teknologi pertanian, penyuluhan dan pelatihan bagi petani, serta perbaikan infrastruktur pertanian seperti sistem irigasi dan jalan pertanian. Penggunaan varietas padi unggul yang tahan terhadap perubahan iklim dan penyakit juga dapat membantu meningkatkan hasil panen.
Diversifikasi Sumber Pangan: Mengurangi ketergantungan pada beras dengan mendorong konsumsi pangan lokal lainnya seperti jagung, ubi, dan sagu. Diversifikasi ini tidak hanya membantu mengurangi tekanan pada produksi beras, tetapi juga meningkatkan ketahanan pangan secara keseluruhan.
Perbaikan Tata Kelola dan Transparansi: Meningkatkan transparansi dalam proses pengadaan dan distribusi beras serta memperketat pengawasan oleh lembaga terkait. Audit independen secara berkala perlu dilakukan untuk memastikan tidak adanya penyelewengan dan praktik korupsi dalam pengelolaan impor dan penyaluran bansos.
Pengembangan Lahan Pertanian Baru: Memanfaatkan lahan tidur dan mengembangkan lahan pertanian baru dengan teknologi canggih dapat meningkatkan kapasitas produksi beras. Program seperti kerja sama dengan negara lain dalam pengembangan lahan pertanian, seperti yang dilakukan dengan China di Kalimantan Tengah, perlu diperluas dan diimplementasikan secara efektif.
Pengembalian Tupoksi Penyaluran Bansos ke Kemensos: Penyaluran bansos sebaiknya dikembalikan kepada Kemensos yang memiliki tugas dan fungsi utama dalam hal ini. Bapanas dan Bulog perlu fokus pada tugas utama mereka, yaitu menjaga stabilitas harga dan pasokan beras dalam negeri.
Pengusutan Tuntas Skandal Mark Up: Mengusut tuntas skandal mark up impor beras dan menindak tegas para pelakunya untuk memberikan efek jera dan memperbaiki kepercayaan publik. Kerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lembaga penegak hukum lainnya sangat penting untuk mengungkap dan menyelesaikan kasus ini.
Stabilisasi Harga Beras: Pemerintah harus berperan aktif dalam menjaga stabilitas harga beras dengan pengaturan stok dan distribusi yang efektif. Intervensi harga melalui operasi pasar dan cadangan beras pemerintah dapat membantu mengendalikan harga di pasar dan memastikan ketersediaan beras bagi masyarakat.
Dengan fokus pada peningkatan produktivitas pertanian, diversifikasi pangan, dan perbaikan tata kelola, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada impor beras dan menuju kemandirian pangan yang berkelanjutan. Hal ini tidak hanya akan meningkatkan kesejahteraan petani dan pekerja di sektor pertanian, tetapi juga memperkuat ketahanan pangan nasional. Reformasi kebijakan yang mendasar dan komitmen kuat dari pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan sangat diperlukan untuk mencapai tujuan ini.