Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Teguh Setyabudi diisukan bakal menggantikan 44 camat atau seluruh camat di Jakarta pada Rabu (13/11).
Rencana kebijakan mutasi menjelang pilkada ini tentu saja wajar jika memicu kecurigaan ada motif politik dibalik pergantian camat ini. Selain dinilai tidak ada urgensinya, publik akan menilai adanya indikasi disusupi kepentingan politik partisan.
Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI), Ade Reza Hariyadi mengaku, mendengar isu santer tentang adanya agenda terselubung untuk menggunakan momentum mutasi yang ditumpangi agenda bansos kepada warga untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta 2024 mendatang menjadi sangat kentara.
Hal ini tentu saja bertentangan dengan sinyalemen yang ditunjukkan oleh Kemendagri dan Komisi 2 DPR tentang Bansos yang sebaiknya dihentikan dimasa pilkada.
Oleh sebab itu, Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Unkris itu meminta, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) perlu melakukan supervisi terhadap mutasi camat di Jakarta, termasuk adanya indikasi politisasi bantuan sosial yang dapat saja memberikan keuntungan pada salah satu pasangan calon tertentu.
Bila mengacu pada UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang
Pasal 71 ayat (2) “Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapatkan persetujuan menteri.
Dalam hal Kepala Daerah melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Jika lakukan mutasi ASN jelang Pilkada maka diancam sanksi yang diatur dalam Pasal 71
Pasal 190: “Pejabat yang melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (2) atau Pasal 162 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
“Jika pergantian camat ini hanya untuk kepentingan politik, maka dapat mengganggu profesionalisme dan prinsip netralitas birokrasi. Hal ini bisa jadi preseden yang kurang baik dan mencederai demokrasi dalam pilkada Jakarta,” kata Reza kepada wartawan di Jakarta, (13/11).
Di samping itu, kata dia, pembagian bansos untuk kepentingan politik jelas melanggar ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan juga dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran etika berat.
Menurut Pasal 80 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, disebutkan bahwa pejabat pemerintahan yang terbukti menyalahgunakan wewenang dapat dikenakan sanksi administrasi berat. “Sanksi administrasi berat dapat berupa pemberhentian tetap tanpa memperoleh fasilitas apapun,” jelas dia.
Maka dari itu, ia meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri berbagai kemungkinan, termasuk dalam transaksi keuangan pihak terkait jika ada indikasi potensi penyimpangan, baik dalam hal mutasi maupun rencana distribusi Bansos.
Sungguh sangat disayangkan sekali jika momentum pilkada ternodai oleh kebijakan politik yang tidak fair dan demokratis. Preseden politisasi bansos dan mutasi pejabat yang mewarnai Pemilihan Presiden (Pilpres) Februari 2024 kemarin semestinya tidak perlu terjadi.
“Warga Jakarta berhak untuk memilih pemimpinnya secara demokratis dan bermartabat demi masa depan mereka yang lebih baik,” tandas.