Oleh: Faris Ismu Amir Hatala, Komisioner KPU Kota Bekasi
Menggunakan jas saat pelantikan, berjalan dengan gagah dan menjaga wibawa saat bicara, menjadi cerminan karakter pejabat kita usai memenangkan kontestasi pemilu. Tatkala memperoleh suara tertinggi dan membuatnya mendapat kursi di kekuasaan menjadikannya seorang tokoh yang mempunyai kekuasaan dan pengaruh atas masyarakat.
Apabila ditelusuri lebih jauh tentang upaya mereka untuk mendapatkan privilege sebagai pejabat Negara, tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan; terdapat emosi, kurang tidur, hingga menghabiskan banyak modal guna menjadi orang terpercaya di masyarakat.
Dalam pandangan Mosca, seseorang yang telah mempunyai jabatan kekuasaan setelah melalui proses demokrasi pada suatu Negara disebut sebagai Elite. Bagi seorang Elite, jabatan merupakan ihwal masyarakat bernegara yang diejawantahkan dalam sebuah kepentingan individu maupun kelompok.
Setiap elit mengalami proses sirkulasi elit yang di dalamnya terdapat proses pergantian atau pergeseran kekuasaan, di Indonesia sendiri proses itu diselenggarakan selama 5 tahun sekali pada kontestasi pemilihan umum (pemilu) yang mereka menyebutnya; Pesta Demokrasi.
Demokrasi merupakan gabungan kata antara Demos dan Kratos, dalam pandangan Aristoteles, sepertinya agak kuno untuk menjelaskan pengertiannya; secara substansi pandangannya menghendaki bahwa rakyat mempunyai kedaulatan tertinggi untuk menentukan arah masa depan bangsa dan negaranya. Sejak diadakannya pemilu secara langsung pada 2004 hingga tahun 2024, Indonesia masih belum mengupayakan agar demokrasi substansial dapat berjalan dengan baik dan ajeg.
Kesenjangan Sosial menjadi penyebab tingginya Biaya Politik
Hal itu dibuktikan dengan penggunaan kekuasaan hanya untuk segelintir kelompok yang mendapatkan kekuasaan, karena memenangkan pentas demokrasi akibatnya kelompok lainnya yang tidak memperoleh kekuasaan akan senantiasa memberikan kritik terhadap jalannya kekuasaan.
Sementara itu rakyat yang merupakan pemegang kedaulatan tertinggi hanya menjadi penonton atas pertikaian para elit dalam dinamika politik nasional. Secara substansi, demokrasi mempunyai peranan penting dalam memperbaiki hajat hidup masyarakat, tetapi tidak mudah bagi Indonesia untuk dapat menjadikan demokrasi sebagai sarana memperbaiki kehidupan masyarakat.
Akibatnya adalah terjadinya kesenjangan sosial yang memberikan jurang terlalu jauh antara rakyat dengan pemangku kepentingan, Jeffrey Winters menyebutkan adanya kesenjangan material secara ekstrem akan mengakibatkan kesenjangan politik secara ekstrem pada sistem demokrasi.
Dampaknya tidak hanya berhenti sampai disitu, semakin kesini biaya politik kian membesar, karena upaya yang dilakukan oleh Elite untuk mempertahankan kekuasaan dan orang-orang yang ingin meraih kekuasaan harus mengeluarkan modal guna memenangkan pertarungan.
Demokrasi Meninggalkan banyak Hutang
Namun pesta demokrasi yang dijalankan tentunya tidak sesuai yang diharapkan, kasus-kasus banyak terjadi pada pagelaran demokrasi di Indonesia, kebanyakan masyarakat kitaterjebak pada kata “kerakyatan; dari, untuk dan oleh rakyat—sehingga terdapat banyak tafsiran yang membuat rakyat harus mendapatkan materi, sembako dan segala bentuk imbalan lainnya yang akan terus dikeluarkan oleh para elit untuk meraih kekuasaan.
Hal itu menyebabkan setiap Elite harus mengeluarkan modal begitu besar, bahkan hingga meninggalkan hutang; usai pemilu tidak sedikit masyarakat yang merasa menjadi konstituennya menagih imbalan atas kinerja yang telah dilakukan dalam menyukseskan seorang caleg tersebut.
Bahkan pada proses kontestasi pemilukada juga menghadapi kondisi yang sama, para Elite harus mengeluarkan banyak biaya untuk memenangkan pertarungan. Jika tidak mengeluarkan uang yang cukup besar, hampir dipastikan para calon kepala daerah akan kesulitan memperoleh kemenangan.
Tentunya akan berdampak panjang dalam proses pembangunan di tingkat daerah yang memberi ruang bagi para kepala daerahuntuk menyalahgunakan kekuasaannya dalam mendapatkankembali modalnya atau memberikan para pemodal merekamenjadi pemegang proyek strategis daerah sebagai kompensasi atas bantuan yang sudah diberikan selama masa kampanye.
“Jangankan Yang Kalah, Yang Menang Aja Puyeng!” ungkapan yang disampaikan oleh segelintir elit seusai meraih kursi legislatif pada kontestasi pemilu 2024.
Menurut Badan Pusat Statistik, diperkirakan setiap orang yang maju menjadi anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota mengenai pengeluaran rata-rata pada pemilu 2024 yaitu sebesar Rp 5 miliar, dengan jumlah pengeluaran rata-rata tersebut sangat jauh dari pendapatan rata-rata per orang sebesar 36 juta rupiah.
Hal ini sangat berdampak pada peranan partisipasi perempuan dan anak muda dalam pemilu, peningkatan risiko korupsi dan melemahkan sistem demokrasi kita.
Pentingnya Peran Pemerintah
Kondisi demokratisasi hari ini sangat memprihatinkan, dikhawatirkan pada pemilu 2029 mendatang justru akan semakin membengkak besaran biaya yang harus dikeluarkan untuk menjadi bagian daripada elit.
Permasalahan ini harusmenjadi konsentrasi pemerintahan pusat, karena pada diktum ke-7 Asta Cita Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang ingin memperkuat Reformasi politik, Hukum, dan Birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan Korupsi, karena memandang perlunya upaya meminimalisasi sistem politik uang serta meningkatkan kesetaraan dan kemudahan dalam akses politik.
Sumber Pustaka :
Mosca, Gaetano. (1939). The Ruling Class (Hannah D. Kahn, Penerjemah). New York and London: McGraw Hill Book Company, Inc.
Prihatini, E. S., & Wardani, S. B. (2024). Biaya Politik di Indonesia. Jakarta: Westminster Foundation for Democracy (WFD) Indonesia.
Subianto, Prabowo., & Raka, Gibran. Rakabuming. (2024). Visi, Misi dan Program Prabowo – Gibran. Jakarta: Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Winters, Jeffrey. A. (2011). Oligarki. Jakarta: Gramedia Press.
Email : farisismuamir@gmail.com