Dirjen Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh mengusulkan agar pada tahun 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyediakan formulir khusus berisi pernyataan tidak pernah memiliki paspor negara lain yang wajib diisi calon presiden (Capres) Calon Legislatif (Caleg) dan Calon Kepala Daerah (Cakada).
Sebab, kata dia selama ini, dalam hal kewarganegaraan, Indonesia menganut Stelsel Pasif. Para pasangan calon presiden (Capres) atau calon anggota legislatif DPR/DPD/DPRD (Caleg) serta calon kepala daerah (Cakada) tidak pernah mendeklarasikan diri mereka pernah punya paspor negara lain atau tidak bila tidak ditanyai.
“Jadi, ada satu Formulir yang dipersiapkan oleh KPU, sehingga calon atau pasangan itu mau men-declare hal tersebut,” katanya dalam keterangan tertulisnya, Senin (23/5).
Usulannya itu bukan tanpa sebab dan alasan. Ini didasari atas pengalamannya menangani kasus kewarganegaraan ganda, Djoko Tjandra (DT) dan Bupati Sabu Raijua, Orient Riwu Kore (ORK) yang dengan mengantongi dua paspor.
Dia menjelaskan, saat menangani kasus itu, Djoko Candra memiliki Paspor Papua Nugini, sementara Orient Kore punya paspor Amerika Serikat.
Tetapi, keduanya masih juga berstatus WNI dalam Sistem Adminduk karena yang bersangkutan tidak pernah melapor, tidak pernah melepaskan kewarganegaraan, sehingga pemerintah tidak tahu bila yang bersangkutan memiliki 2 paspor.
Padahal, dalam Pasal 23 UU Kewarganegaraan dikatakan salah satu penyebab hilangnya kewarganegaraan adalah memiliki paspor negara lain.
Menurut dia, perumusan di Pasal 23 itu sebagai perumusan norma sanksi administrasi. Sehingga, ketika memenuhi syarat melakukan perbuatan yang telah ditetapkan, maka orang tersebut dapat diberi sanksi kehilangan kewarganegaraannya. Nah, kata dia, disinilah tindakan pemerintahan yang bersifat konkrit, individual dan final diperlukan. Esensinya adalah diperlukan adanya sebuah keputusan dari pemerintah.
“Sehingga, saya berpendapat dari dua kasus tersebut, yang dalam waktu yang bersamaan keduanya memiliki paspor tapi tidak otomatis kehilangan kewarganegaraannya dan masih berstatus WNI. Ini disebabkan belum ada tindakan administrasi pemerintah,” ulasnya.
Jadi, kata dia, sepanjang belum ada tindakan administrasi pemerintahan maka Pasal 23 itu belum masuk pada perbuatan hukum konkret.
“Jadi kita belum tahu, ORK itu kapan kehilangan kewarganegaraan RI nya, DT kapan kehilangan kewarganegaraannya,” katanya.