Polemik rencana pemerintah melakukan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomo 109 Tahun 2012 terkait pengaturan produk tembakau berupa rokok produk HPTL (Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya) terus bergulir.
PP Nomor 109 Tahun 2012 juga mengatur industri rokok elektrik, yang sebelumnya tidak termasuk dalam PP nomor 109 tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan.
“Dimasukannya HPTL dalam Revisi PP (RPP) Nomor 109 tahun 2012, khususnya industri rokok elektrik dapat sangat merugikan banyak pihak-pihak, baik yang terkait secara langsung maupun tidak langsung,” kata Ketua Bidang Investasi dan Penanaman Modal Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia )APVI), Gusti Tisna Wijaya, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (28/7).
Sebab, menurut dia, sejak dilegalkan Industri vape pada 2018 tidak dapat dipungkiri bahwa industri ini berkembang pesat dan memberikan banyak dampak positif.
Baik itu, vape dan industri lain yang terkait. Bahkan, dia menyatakan, juga berdampak positif bagi negara karena banyaknya penyerapan tenaga kerja sampai 100.000 tenaga kerja, mencakup produksi hingga ritel yang berjumlah lebih dari 10.000 toko di seluruh Indonesia.
“Belum lagi pihak dan industri-industri terkait lainnya. Misalnya, petani tembakau, industri percetakan, jasa, jasa ekspedisi, pekerja kreatif, UMKM, toko retail dan banyak banyak lagi,” kata dia.
Selain itu, Tisna mengungkapkan, kontribusi cukai industri rokok elektrik hampir Rp200 miliar dalam waktu 4 bulan pertama pengenaannya. Mulai dari September sampai Desember 2018. Pada 2022, industri rokok elektrik berkontribusi dalam pendapatan negara hingga lebih dari Rp2 triliun.
“Industri rokok elektrik saat ini sudah berhasil menarik para investasor asing, yang memberikan dampak positif dalam sisi ketenagakerjaan dan devisa bagi Indonesia,” bebernya.
Karena itu, dia berharap, pemerintah mempertimbangkan regulasi yang tepat untuk industri rokok elektrik. Sebab, jika regulasi yang ditetapkan untuk industri ini tidak tepat, dikhawatirkan memunculkan pasar ilegal di Indonesia.
Hal senada dikatakan, Ketua Umum APVI, Aryo Andrianto. Dia menjelasakan, satu hal yang menjadi perhatian adalah dengan tertekannya industri rokok elektrik legal, apabila disahkannya RPP Nomor 109 Tahun 2012 ini, maka akan mendorong usaha ilegal berkembang di Indonesia demi memenuhi permintaan konsumen.
“Saat ini, telah 2,5 juta orang menggunakan
rokok elektrik. Maka, hal ini tentunya akan merugikan semua pihak,” Ujar Aryo.
Memang tidak dapat dipungkiri, perdagangan gelap dan barang-barang ilegal merupakan salah satu permasalahan besar yang hingga saat ini masih terus terjadi di Indonesia.
Statement tentang pemberian regulasi yang tepat pun juga dikemukakan oleh Sekretaris Jendral APVI, Garindra Kartasasmita, yang mengatakan bahwa, Regulasi haruslah dibuat sesuai dengan tingkat risikonya.
“Meningkatnya kebutuhan akan produk-produk yang lebih rendah resiko dialami oleh hampir semua produk harm reduction, dan terjadi di hampir seluruh dunia,” jelasnya.
“Apabila dari pemerintah masih ada yang tidak yakin dengan penelitian-penelitian yang sudah banyak dilakukan oleh negara lain, kami dengan senang hati akan membantu pemerintah untuk bersama melakukan penelitian dan mengevaluasi tingkat resiko dari produk rokok rlektrik,” sambung dia.
Berdasarkan kesimpulan diatas, besar harapan para pihak yang terkait dalam industri rokok eektrik ini, agar pemerintah dapat membuat regulasi terpisah dari RPP Nomor 109 Tahun 2012, untuk melindungi para pelaku usaha, konsumen dan pihak-pihak terkait lainnya, serta tetap mendukung kemajuan pertumbuhan industry Rokok Elektrik di Indonesia.