Perkara pembunuhan Brigadir Nofriansyah Joshua Hutabarat telah menyeret lima terdakwa yang kini disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dan menanti tuntutan dari jaksa penuntut umum (JPU)
Dari kelima terdakwa tersebut salah satunya Richard Eliezer yang juga sebagai justice collaborator (JC).
Pengamat hukum Universitas Nasional, Rumainur, mengatakan, status JC memang diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban namun memiliki batasan dan pengakuan dalam putusan akhir majelis hakim.
Rumainur menjelaskan, seseorang yang disematkan sebagai JC harus tidak juga didakwa sebagai bagian dari pelaku tindak pidana utama.
“Selain itu pula biasanya (status) JC diberikan dalam kasus-kasus kejahatan luar biasa, atau dapat juga seseorang yang ingin membongkar fakta perkara namun nyawanya terancam,” ucap Rumainur, Kamis (12/1).
Secara khusus, Rumainur menyebutkan, klasifikasi tindak pidana yang memang memerlukan JC yaitu korupsi, terorisme, perdagangan manusia, narkotika, serangan pada negara, serta pencucian uang.
Sedangkan, mantam Hakim Agung, Prof Gayus Lumbuun mengemukakan, Richard Eliezer harus tetap bertanggung awab sesuai perannya yang menyebabkan tewasnya Brigadir Joshua.
“Dalam pikiran saya Richard Elizer harus bertanggung jawab penuh karena kalau tidak ada dia, tidak ada kematian,” kata Gayus.
Gayus menilai, Eliezer melaksanakan perintah utuh mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo yaitu menembak Brigadir Joshua yang merupakan tindakan mematikan.
Peristiwa pembunuhan Brigadir Joshua dari pengakuan terdakwa Ferdy Sambo bermula sebab mendengar istrinya, Putri Candrawathi, mengalami kekerasan seksual yang dilakukan Brigadir Joshua di Magelang, Jawa Tengah.
Kabar itu lantas memicu kemarahan Ferdy Sambo dan melibatkan beberapa orang lainnya untuk menghabisi nyawa Brigadir Joshua