Pimpinan KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang, mengatakan KPK saat ini lemah, dependen, dan bernuansa politis.
“Bedanya KPK dulu, sekarang lemah, tidak independen, dan politis,” katanya dalam Dialog Publik “Pelanggaran Etik Pimpinan KPK dan Politisasi Kasus di Gedung Merah Putih” yang digelar Forum Kajian Demokrasi Bersih (Fokad) di Upnormal Raden Saleh, Cikini, Jakarta, Kamis (16/2).
Ia menyinggung, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mengalami penurunan di 2022. Transparansi Internasional Indonesia menyebut skor ini menjadi yang terburuk selama dua dekade.
Saut mengaku, tidak kaget dan tidak heran dengan hal tersebut. Dia mengaku, saat berada di KPK selama empat tahun, komisi antirasuah telah melakukan OTT lebih dari 87 kali.
Bahkan sebelum meninggalkan meninggalkan KPK di 2019, IPK Indonesia masih berada di angka 40. “Angka 40 ini paling tinggi selama KPK ada,” ujarnya.
Saut juga menyebut dua periode kepemimpinan Presiden Jokowi Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia anjlok sejak reformasi sebagaimana dirilis oleh TII pada Selasa (31/1).
Setelah diluncurkan IPK kita itu jatuh dari 38 ke 34. “Hari ini kembali ke 34 itu persis seperti saat Jokowi berkuasa. Jadi dia balik ke nol itu,” tuturnya.
Saut juga mengatakan penyebabnya adalah OTT sudah menjadi patokan karena memang persepsi pencegahannya berbeda ketika UU KPK berjalan. Jadi, seolah-olah konsep pencegahan itu merupakan sebuah justifikasi, kemudian muncul tentang restorative justice.
Kendati demikian, ujarnya, KPK tetap relevan dan menjadi ujung tombak dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
“UU KPK kembalikan ke semula, bila tidak, KPK bisa bubar,” ujarnya.