Seperempat Abad Forum Betawi Rempug

Oleh KH: Lutfi Hakim, Imam Besar Forum Betawi Rempug

Ketika terjadi perubahan pada medio 2001, Indonesia memasuki babak baru akibat eskalasi sosial politik yang didorong derasnya desakan masyarakat. Masyarakat Betawi mengambil bagian sebagai bentuk tanggung jawab moral dan sosial dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara Indonesia.

Sebagai bentuk keterpanggilan masyarakat Betawi atas kondisi bangsa dan negara, “Forum Betawi Rempug” yang disingkat “FBR” kemudian terlahir pada hari Minggu Legi, 29 Juli 2001, bertepatan dengan 8 Rabiul Tsani 1422 H. Menukil Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dalam teorinya tentang sejarah sosial, “Sejarah tercipta bukan semata-mata karena faktor politik, tetapi lebih disebabkan oleh faktor-faktor sosial.” 

Dibidani ulama-ulama muda Betawi (KH A. Fadloli el-Muhir dan KH Lutfi Hakim, MA) dan dilandasi pemikiran dari negara lain, para ulama-ulama yang berkumpul tidak ingin kasus yang terjadi pada suku-suku di dunia, seperti Aborigin di Australia atau kasus yang terjadi pada suku Indian di Amerika Serikat, dialami bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Betawi. Kalau kedua kasus tersebut terjadi, bagaimana nasib bangsa ini ke depan?

Diilhami teori perubahan sosial, perbandingan dengan suku negara lain dan diprakarsai ulama, serta berpedoman pada Surat Ali Imron ayat 103–yang memberikan makna pentingnya hidup dalam keselarasan, keserasian yang tepat, dan persamaan yang padu–maka perjuangan FBR berketetapan untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Betawi yang selama ini lemah secara struktural ataupun kultural. 

Keselarasan perjuangan FBR yang turut menjadi bagian dalam menjaga martabat bangsa negara yang kaya dengan pulau dan etnis ini tidak memperlakukan suku yang ada di dalamnya menjadi inferior sehingga dapat menimbulkan kecemburuan dan kerawanan sosial.

Kebersamaaan dan keterpaduan sebagai bangsa yang besar mestinya menjadi modal. Indonesia harus berusaha menghargai dan menempatkan suku-suku dan entitas yang ada dalam masyarakatnya sejajar satu sama lain untuk mengembangkan kearifan lokal sekaligus memperkaya khazanah bangsa yang majemuk. Adalah suatu kesalahan apabila suatu bangsa yang besar semacam Indonesia justru memarjinalkan entitas masyarakat, apalagi putra daerah, dalam mengembangkan kearifan lokal, yang pada gilirannya akan memunculkan benih-benih permusuhan.

Dalam memberdayakan masyarakat suatu daerah, tidak hanya membutuhkan kebijakan yang berpihak, tetapi yang tidak kalah penting adalah mempersiapkan mental masyarakat itu untuk memiliki harga diri dan kepercayaan diri agar siap berkompetisi secara bebas dengan karifan lokal yang dimilikinya sehingga mampu menjadi lokomotif kemajuan bagi daerahnya.

Demi terciptanya keserasian secara tepat, FBR selalu mengedepankan hubungan persaudaraan yang kokoh di antara sesama masyarakat Betawi dan yang lainnya. Selain secara kemasyarakatan, kerja sama dengan pemerintah dan komponen lainnya terus diprioritaskan dan didayagunakan demi tercapainya kesejahteraan sosial. 

Keserasian akan berjalan baik seiring dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Betawi melalui pendidikan, keterampilan, serta aspek lainnya agar masyarakat Betawi lebih berperan aktif dalam berbagai aspek kehidupan, melestarikan dan mengembangkan seni budaya Betawi sebagai bagian dari kebudayaan nasional, serta menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar.

“Jangan kamu kira kerempugan datang dari keakraban yang lama dan pendekatan yang tekun. Kerempugan adalah kesesuaian jiwa dan jika itu tidak pernah ada, maka kerempugan tidak akan pernah tercipta dalam hitungan tahun bahkan abad.”

Kerempugan merefleksikan suatu kesatuan dalam keragaman ibarat pelangi yang indah dalam kehidupan dan kebaruan dalam kesilaman bak anggur lama dalam botol baru atau gugusan masyarakat lama dalam organisasi baru. Satu dalam semua, semua dalam satu. Kesatuan tidak dapat eksis tanpa perbedaan, mayoritas tak bisa hadir tanpa minoritas. 

Selain itu, Kerempugan adalah sumber energi dan perasaan yang mendalam, yang menuntut setiap anggota FBR untuk belajar, menciptakan kerja sama, memimpin dan melayani sebagai wujud kekhalifahannya di muka bumi. Dengan Kerempugan diharapkan timbul kesadaran untuk membuka diri penuh cinta untuk yang lain serta ketabahan menghadapi ketidakpastian di tingkat permukaan hidup sehari-hari. 

Dalam kerempugan diperlukan adanya prinsip imamah, yaitu konsepsi kerempugan tentang kebetawian di bawah satu atap, yang menempatkan Imam FBR bukan saja sebagai sumbu lingkaran ruang dan waktu tempat keluarga besar FBR berputar, melainkan pusat bagi seluruh persaudaraan kaum Betawi.

Seperempat abad bukan tanpa terpaan, permasalahan, konflik, dan ragam perubahan yang memengaruhi internal kelembagaan. Belum lagi perubahan eksternal yang mencoba intervensi ketahanan fungsi, struktur kepemimpinan, dan keistiqomahan anggota kerempugan. Semuanya dapat dilalui bahkan semakin memperkuat eksistensi FBR di tengah masyarakat. Tidak sedikit organisasi yang lambat laun redup dan terbelah karena konflik bahkan hilang eksistensinya di masyarakat karena ketidakmapuan beradaptasi dengan perubahan dan menghadapi terpaan internal maupun eksternal.

Beradaptasi dengan setiap perubahan. FBR kini dihadapi bahkan dipaksa mampu menyesuaikan, menyelaraskan, dan mengembangkan kerempugan secara organisasi dan anggota. FBR kini akan menyesuaikan, menyelaraskan, dan mengembangkan dalam positioning-nya sebagai masyarakat madani. Cak Nur mendefisiniskan masyarakat madani (civil society) sebagai masyarakat yang beradab, menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, serta maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Secara kerempugan, dengan basis kepemimpinan imamah dan keanggotaan yang secara kuantitas besar, terjaga soliditas dan ukhuwah yang kuat. Ia menjadi modal dasar untuk menapaki arah perubahan dan pembaruan. FBR akan meningkatkan perannya di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kita akan bangun kelompok madani berbasis budaya Betawi. 

Memang tidak mudah, tetapi semua harus sama-sama dilalui. Seperempat abad FBR akan tetap menjaga dan merawat tradisi untuk menjawab perubahan yang berpegang pada nilai, kebhinnekaan, serta menjaga persatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sejarah adalah nilai, perubahan ialah keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Kita memiliki nilai yang berbeda, nilai yang harus dirawat, dijaga, bahkan dilestarikan. Kerempugan ke depan akan membangun penguatan sumber daya manusia Betawi, terkhusus anggota FBR, agar memiliki ketahanan budaya (nilai/tradisi) untuk menjawab berbagai perubahan sebagai kelompok madani.

Kesadaran masyarakat Betawi harus dibangunkan secara keseluruhan. Untuk menjadi rumah di Jakarta, memerlukan dukungan seluruh komponen masyarakat Betawi. Akan tetapi, menjaga kebhinnekaan di Jakarta tidak kalah pentingnya karena Jakarta molting pot budaya-budaya yang ada di Indonesia.  Keragaman dan menjaga kebhinnekaan akan memperkaya khasanah tradisi Betawi. 

Sebagai penutup, kami kembali mengulang: kerempugan yang baru harus tetap menjaga semangat kebangsaan, manjaga tradisi, dan merawat kebhinnekaan di Jakarta. Kerempugan tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya semangat kebangasaan, silaturahmi budaya, dan interaksi sesama anak bangsa.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini