Ahli CNRS: Krisis Iklim Perkuat Badai dan Picu Banjir Bandang di Sumatra

Intime – Badai Senyar yang menerjang Selat Malaka dan memicu banjir bandang serta longsor di wilayah Sumatra, serta Badai Koto dan Ditwah yang melanda sejumlah negara di Asia Tenggara, diyakini semakin destruktif akibat krisis iklim yang terus memburuk. Ketergantungan kawasan ini pada energi fosil disebut menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya intensitas badai.

Direktur Riset Centre National de la Recherche Scientifique (CNRS) Prancis, Davide Faranda, menegaskan krisis iklim memicu badai yang lebih kuat dan curah hujan yang kian ekstrem.

Atmosfer yang lebih hangat mampu menyimpan lebih banyak uap air, sehingga hujan yang turun menjadi lebih deras. Sementara itu, suhu permukaan laut yang meningkat memberikan energi tambahan bagi badai, menjadikannya lebih intens dan merusak.

“Apa yang kita saksikan di Asia Tenggara adalah siklus badai yang tak henti-hentinya. Ribuan rumah telah hancur dalam badai baru-baru ini, tetapi yang terjadi adalah sebuah pola. Jika kita tidak menghentikan bahan bakar fosil dan berinvestasi dalam strategi adaptasi, Asia Tenggara akan terus menghadapi kerusakan sosial-ekonomi yang meningkat,” ujar Faranda dalam keterangan tertulisnya, Rabu (3/12).

Ia menambahkan, emisi bahan bakar fosil tidak hanya memperburuk perubahan iklim, tetapi juga berkontribusi langsung terhadap meningkatnya kerugian akibat cuaca ekstrem.

Pada periode 1991–2020, setiap ton emisi CO₂ dari industri energi fosil dikaitkan dengan potensi kerugian ekonomi global hingga US$ 28 triliun.

Climate and Energy Campaign Manager Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menyampaikan pandangan serupa. Ia menilai bencana di Sumatra merupakan hasil dari tata kelola sumber daya yang buruk serta kebijakan energi yang tidak berlandaskan keadilan.

“Bencana ini adalah akumulasi dari tata kelola lahan dan energi yang buruk. Saatnya menerapkan prinsip pencemar membayar karena kerusakan ini bukan hanya akibat faktor alam, tetapi juga eksploitasi berlebihan oleh perusahaan dan negara,” tegas Iqbal.

Sejumlah kajian ilmiah menegaskan pemanasan global meningkatkan intensitas badai dan taifun, termasuk musim taifun 2024 di Filipina, Taifun Super Ragasa, hingga Taifun Gaemi yang menjadi lebih basah dan berangin akibat krisis iklim.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini