Di tengah pesatnya adopsi kecerdasan buatan (AI) di seluruh dunia, publik di ingatkan tentang risiko “erosi kognitif” yang tidak disadari, mendesak masyarakat untuk tidak menjadi konsumen pasif melainkan mitra aktif bagi teknologi yang kuat ini.
Pesan tersebut disampaikan oleh Karola Xenia Kassai, seorang pengacara inovasi dan pendiri firma hukum virtual, dalam sebuah presentasi berpengaruh di panggung TEDx. Ia menegaskan bahwa sementara AI menawarkan kemajuan luar biasa, ketergantungan yang berlebihan tanpa pemikiran kritis dapat menumpulkan kemampuan fundamental manusia untuk berpikir.
Keajaiban AI: Ketika Kode Memecahkan Misteri Biologi 50 Tahun
Kassai membuka presentasinya dengan contoh yang menggemparkan: keberhasilan AlphaFold 2, sebuah sistem AI dari DeepMind, dalam memecahkan “masalah pelipatan protein”. Selama 50 tahun, ini adalah salah satu tantangan terbesar dalam biologi. AI berhasil menyelesaikannya dalam hitungan jam, sebuah terobosan yang kini mempercepat penelitian untuk penyakit seperti kanker dan Alzheimer.
Contoh ini menjadi fondasi argumen Kassai bahwa potensi AI untuk membantu manusia sungguh luar biasa. Namun, di balik kemampuan super ini, tersembunyi sebuah paradoks.
Paradoks Pedang Bermata Dua: Halusinasi AI dan “Cognitive Offloading”
Kassai tidak ragu untuk menyoroti sisi gelap dari ketergantungan pada AI. Ia memperkenalkan dua konsep krusial:
Halusinasi AI: Ini adalah fenomena di mana AI dengan sangat meyakinkan menyajikan informasi yang sepenuhnya salah. Kassai memperingatkan bahwa tingkat “halusinasi” ini bisa mencapai 60-80% untuk pertanyaan hukum, sebuah bahaya nyata jika kita menerima output AI tanpa berpikir kritis.
Cognitive Offloading (Bongkar Muat Kognitif): Istilah ini merujuk pada kecenderungan kita untuk “mendelegasikan” tugas berpikir kepada teknologi. Kassai menggunakan analogi kuat tentang supir taksi London. Sebelum ada GPS, mereka memiliki ingatan spasial yang luar biasa karena harus menghafal ribuan jalan. Setelah GPS menjadi umum, bagian otak yang bertanggung jawab untuk memori spasial itu terbukti menyusut. Inilah ancaman nyata dari AI: jika kita berhenti melatih “otot” mental kita, ia akan melemah.
Jawaban Ada di Otak Kita: Neuroplastisitas dan Keterlibatan Aktif
Alih-alih menyajikan narasi kiamat teknologi, Kassai menawarkan solusi yang berakar pada sains otak manusia itu sendiri: neuroplastisitas. Otak kita bukanlah organ yang statis; ia terus berubah dan beradaptasi berdasarkan cara kita menggunakannya.
Kuncinya, menurut Kassai, adalah keterlibatan aktif. Sebuah studi menunjukkan, individu yang secara pasif menerima informasi dari AI mengalami penurunan fungsi kognitif. Sebaliknya, mereka yang menggunakan AI sebagai titik awal, kemudian secara aktif menilai, memverifikasi, dan mengembangkannya, justru berhasil mempertahankan bahkan meningkatkan aktivitas otaknya.
Ini adalah pesan penting: jangan menjadi konsumen pasif. Jadilah kurator, kritikus, dan kolaborator aktif saat berinteraksi dengan AI.
Menuju Visi Kemitraan Simbiosis
Pada akhirnya, Kassai menyerukan visi masa depan di mana manusia dan AI tidak bersaing, melainkan membentuk sebuah kemitraan simbiosis.
Ia berpendapat bahwa keunggulan AI dalam komputasi dan analisis data harus dipadukan dengan kekuatan unik manusia yang tidak dapat ditiru oleh mesin, yaitu kecerdasan emosional, kreativitas, pemahaman kontekstual, dan intuisi.
“Tantangan generasi kita bukanlah untuk menghentikan AI,” simpul Kassai. “Tantangannya adalah untuk tumbuh bersamanya, untuk menggunakan kekuatan komputasinya yang luar biasa untuk mendorong imajinasi dan pemikiran kita ke tingkat yang lebih dalam, sambil memastikan kita tetap menjadi ‘manusia’ dalam prosesnya.”