Dekan FISIP Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Heri Herdiawanto, mendorong revisi Undang-Undang (UU) TNI dan Polri dihentikan sementara. Pangkalnya, ada beberapa isi dalam rancangan UU (RUU) tersebut yang tidak substansial dan cenderung melenceng.
“RUU Polri sebaiknya ditinjau ulang atau dibatalkan karena sudah cukup besar kewenangannya di bawah presiden,” katanya dalam keterangannya, Jumat (12/7).
Heri melanjutkan, revisi UU Polri mestinya juga tidak menjadikan institusi tersebut memperkuat dominasi kekuasaan atau memperbesar peluang penyalahgunaan kewenangan (abuse of power).
“Seperti penambahan pasal pengaturan penyadapan, ruang siber, Intelkam hingga kewenangan pada ancaman luar negeri,” jelasnya.
Heri meminta beleid RUU Polri diarahkan pada pengembangan karakter anggota polisi sehingga kepercayaan publik membaik. Lalu, peningkatan kompetensi mengingat tantangan global dan nasional membutuhkan profil kepolisian yang profesional dan mengayomi masyarakat Indonesia.
“Revisi UU Polri juga harus mengakomodasi peningkatan kualitas penanganan kriminologi yang mencakup kejahatan, pelaku, korban/fiktimologi, reaksi sosial yang antisipatif dan adil. Penerapan restorative justice juga harus selektif dan cermat implementasinya,” ucapnya.
“Revisi UU Polri pun mestinya jangan menambah disparitas kewenangan dengan kelembagaan/instrumen negara lainnya, tetapi mengedepankan kolaboratif dan sinergitas,” sambung Heri.
Sementara itu, revisi UU TNI mesti merefleksikan antisipasi terhadap tantangan serta ancaman masa kini dan masa depan.
“Apalagi, perang semesta saat ini dan masa depan tidak bisa disamakan dengan sifat perang rakyat semesta yang berkembang pada masa perang perjuangan merebut kemerdekaan,” jelasnya.
RUU TNI pun mesti diarahkan pada daya dukung sumber daya manusia (SDM), alat utama sistem senjata (alutsista), dan kesejahteraan prajurit.
“Kemudian, terus melakukan tolok ukur (benchmark) dengan negara di kawasan dan dunia agar keunggulan komparatif yang dimiliki TNI menjadi keunggulan kompetitif (competitive advantage),” paparnya.
Heri turut menyoroti wacana penambahan usia pensiun dan peluang ditempatkannya personel TNI-Polri dalam jabatan sipil pada revisi kedua UU tersebut.
“Tetap tidak menafikan aspek penting profesionalisme dan integritas serta bukan pembenaran adanya stereotipe bahwa kembalinya dwifungsi bahkan multifungsi ABRI melalui RUU TNI-Polri,” tuturnya.
Lebih jauh, Heri memaparkan catatannya atas RUU TNI dan Polri yang diinisiasi DPR. Ia menyarankan anggota dewan tidak tergesa-gesa melakukan pembahasan.
“Berikan waktu kepada publik untuk mengkaji dan memberikan saran perbaikan positif juga untuk memaksimalkan kesempatan untuk mengakomodasi aspirasi pihak-pihak terkait (stakeholder),” bebernya.
Menurutnya, revisi UU mestinya merujuk pada landasan negara, yakni Pancasila. “Sebab, pemilik kekuasaan secara hakiki merujuk pada Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Ia pun mempertanyakan apakah RUU yang baru menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Selain itu, apakah prosesnya sudah berdasarkan prinsip demokrasi, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan?
Pertanyaan berikutnya adalah apakah revisi memastikan eratnya persatuan Indonesia. “Bagaimana revisi ini harus mengakomodasi perlindungan HAM sesuai sila kemanusiaan yang adil dan beradab? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab,” tutupnya.