Aktivis Reformasi: Gelar Pahlawan untuk Soeharto Berpotensi Bengkokkan Sejarah dan Nilai Reformasi

Intime – Sejumlah aktivis reformasi mempertanyakan keputusan pemerintah yang menobatkan Presiden ke-2 RI, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional. Mereka menilai keputusan tersebut berpotensi mengaburkan sejarah kelam bangsa dan melemahkan nilai moral reformasi yang diperjuangkan sejak 1998.

Para aktivis menyatakan bahwa mereka tidak menolak mengakui jasa siapa pun terhadap Republik Indonesia, termasuk Soeharto. Namun, mereka menegaskan bahwa gelar kepahlawanan tidak boleh dijadikan alat untuk menutupi kesalahan sejarah.

“Kami tak menolak mengakui jasa yang disumbangkan siapa pun terhadap Republik ini termasuk Soeharto. Tetapi kepahlawanan adalah hal yang jauh lebih besar dan penting dari sekadar menghargai jasa seseorang,” tulis pernyataan itu di Jakarta, Senin (10/11).

Para aktivis menilai, menggunakan klaim jasa sebagai dalih untuk menutupi kejahatan sejarah sama saja dengan “menyuntikkan bius amnesia sejarah ke tubuh bangsa.”

Menurut mereka, kepahlawanan seharusnya menjadi mekanisme moral kolektif bangsa — sarana untuk mendidik generasi muda agar mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah dalam perjalanan sejarah nasional.

“Bagi kami, kepahlawanan adalah mekanisme moral kolektif: cara suatu bangsa mendidik anak-anaknya membedakan benar dari salah dalam sejarah, memilih mana yang patut dihormati dan mana yang harus menjadi pelajaran,” tegas para aktivis.

Lebih lanjut, mereka menilai bahwa gelar pahlawan nasional seharusnya tidak dikosongkan maknanya menjadi sekadar simbol kemegahan pribadi, karena sejatinya gelar tersebut merupakan kompas moral bagi kehidupan bangsa menuju masa depan.

Para aktivis juga menyatakan tidak menolak gagasan rekonsiliasi nasional, tetapi menilai pemerintah tidak konsisten. Jika negara ingin berdamai dengan masa lalu, seharusnya juga mengakui peran para tokoh kiri Indonesia yang berjuang melawan kolonialisme dan imperialisme, namun dihapus dari catatan sejarah karena perbedaan ideologi.

“Mengapa negara tidak secara konsekuen juga mengakui peran para tokoh kiri Indonesia — mereka para pejuang antikolonialisme dan antiimperialisme yang dihapus dari sejarah hanya karena perbedaan ideologi?” tulis mereka.

Para aktivis kemudian mempertanyakan arah moral bangsa jika keputusan seperti ini terus diambil tanpa refleksi sejarah yang jujur.

“Apakah bangsa ini telah kehilangan keberanian untuk mengakui sejarahnya sendiri? Apa nilai yang hendak diajarkan kepada anak dan cucu kita dari sikap inkonsisten dan mau menang sendiri ini?”

Dalam pernyataan tersebut, mereka juga menyinggung bahaya logika kekuasaan yang menjustifikasi pelanggaran kemanusiaan demi stabilitas atau kemakmuran.

“Apakah kita ingin mengajarkan bahwa kekuasaan boleh berbuat apa saja sepanjang mendatangkan kemakmuran? Bahwa kepatuhan pada negara lebih penting daripada kemanusiaan dan solidaritas sosial? Bahwa kebebasan adalah ancaman terhadap pembangunan ekonomi? Bahwa korban boleh jatuh dan dilupakan demi stabilitas politik?”

Para aktivis memperingatkan bahwa jika nilai-nilai seperti itu dibiarkan berkembang, maka bangsa Indonesia bukan sedang membangun masa depan, melainkan memperpanjang bayang-bayang masa lalu.

“Jika itu pelajaran moral yang akan diwariskan kepada generasi muda, maka bangsa kita bukan sedang membangun masa depan, melainkan sedang memperpanjang bayang-bayang masa lalu. Terhadap kemungkinan itu, kami menyatakan tidak setuju,” tutup pernyataan tersebut.

Nama aktivis reformasi:

1. Andi Arief
2. Rachland Nashidik
3. ⁠Hery Sebayang
4. ⁠Jemmy Setiawan
5.Taufikurrahman
6. ⁠Robertus Robet
7. ⁠Syahrial Nasution
8. ⁠Rocky Gerung
9. Yopie Hidayat
10. ⁠Bivitri Susanti
11. ⁠Abdullah Rasyid
12. ⁠Ulin Yusron
13. ⁠Iwan D. Laksono
14. ⁠Beathor Suryadi
15. ⁠Affan Afandi
16. ⁠Zeng Wei Zian
17. ⁠Umar Hasibuan
18. ⁠Hendardi
19. Syahganda Nainggolan
20. Hardi A Hermawan
21. Denny Indrayana
22. Benny K. Harman
23. Endang SA
24. Yosi rizal
25. Syamsuddin Haris
26. ⁠Khalid Zabidi
27. ⁠Monica Tanuhandaru
28. ⁠Ikravany Hilman
29. ⁠Hendrik Boli Tobi
30. ⁠Isfahani
31. ⁠Elizabeth Repelita
32. ⁠Ronny Agustinus
33. Marlo Sitompul
34. ⁠Maulida Sri Handayani
35. ⁠Retna Hanani
36. Harlan
37. Jimmi R Tindi
38. Tri Aguszox Susanto
39. Oka Wijaya
40. ⁠Isti Nugroho
41. ⁠Riawandi Yakub

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini