Intime – Amnesty International Indonesia mengecam keras tindakan represif aparat keamanan saat aksi demonstrasi yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia. Dalam kerusuhan tersebut terdapat 10 korban jiwa.
Selain itu, Amnesty International Indonesia juga mengkritik penangkapan sejumlah aktivis yang dianggap melakukan provokasi dan hasutan untuk melakukan demo ricuh. Salah satunya adalah Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen.
“Ini semua menunjukkan negara memilih pendekatan otoriter dan represif daripada demokratik dan persuasif,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid di Jakarta, Rabu (3/9).
Usman menegaskan, kepolisian menerapkan pasal-pasal karet dalam memproses hukum Delpedro yang selama ini dikenal untuk membungkam kritik.
“Ini harus dihentikan. Bebaskanlah mereka,” tegasnya.
Dia meminta, negara harus mengoptimalkan pendekatan pemolisian demokratis, persuasif dan dialog dengan pengunjuk rasa. Sebagaimana saran kantor HAM PBB.
Ia pun mengkhawatirkan ancaman hukuman hanya memicu eskalasi ketegangan antara kepolisian dan pengkritik.
“Mereka berhak berkumpul dan menyampaikan pendapat di depan umum. Itu adalah hak asasi manusia,” sambungnya.
Usman juga mendesak Polri untuk membebaskan Delpedro, Syahdan, dan ratusan pengunjuk rasa lainnya yang ditangkap. Mereka ditangkap karena bersuara kritis sejak 25 Agustus 2025 lalu.
“Negara seharusnya melakukan investigasi independen yang melibatkan tokoh-tokoh dan unsur masyarakat yang memiliki integritas dan keahlian,” katanya.
Usman mendesak Komnas HAM harus segera melakukan penyelidikan projustiti atas terbunuhnya sepuluh warga sipil selama aksi unjuk rasa.
“Negara harus mau bekerja sama dengan Komnas HAM dalam memastikan mereka yang bertanggung jawab atas kematian ini dapat dimintai pertanggungjawaban,” tuturnya.
Usman mengkritik pernyataan Presiden Prabowo yang memunculkan label “anarkis”, “makar” atau bahkan “terorisme”. Menurutnya, pelabelan tersebut berpotensi mengeskalasi pendekatan keamanan dan membenarkan penggunaan kekuatan yang lebih represif dan eksesif lagi.
“Negara semestinya hadir dengan manusiawi, yaitu mendengarkan tuntutan warga, menghormati kebebasan berekspresi, serta menegakkan hukum secara adil. Tanpa itu, pernyataan presiden hari Minggu lalu bahwa ‘negara menghormati dan terbuka terhadap kebebasan penyampaian pendapat dan aspirasi masyarakat’ hanya slogan kosong yang dikubur oleh praktik otoriter melanggar HAM,” pungkasnya.

