Intime – Pertemuan Presiden Prabowo Subianto dan Presiden kelima Megawati Soekarnoputri pada momen Idulfitri bukan sekadar silaturahmi biasa.
Menurut pengamat intelijen dan geopolitik, Amir Hamzah pertemuan ini mencerminkan kesadaran bersama untuk membangun kekuatan nasional di tengah tantangan global yang kian kompleks.
Amir menilai Indonesia saat ini tengah berada di titik persimpangan sejarah yang memerlukan konsolidasi kekuatan nasional.
“Kita sedang menghadapi tantangan global yang tidak ringan. Geopolitik kawasan yang memanas, tekanan ekonomi global, transformasi teknologi, hingga ancaman disintegrasi sosial akibat polarisasi politik. Dalam kondisi seperti ini, kekuatan nasional menjadi kebutuhan mendesak,” kata Amir dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (11/4).
Pertemuan dua tokoh besar ini, lanjutnya, mengirim pesan kuat: ego sektoral dan arogansi politik harus dikalahkan demi dialog kebangsaan.
“Pertemuan itu menyampaikan pesan mendalam bahwa untuk membangun bangsa, kita harus menurunkan arogansi dan membuka ruang dialog lintas kubu. Lebaran adalah momentum yang tepat karena semangat silaturahim dan saling memaafkan mendominasi ruang publik,” lanjut Amir.
Ia menekankan bahwa dalam konteks geopolitik, negara-negara besar pun tengah menyatukan kekuatan internal mereka untuk menghadapi tantangan eksternal. Indonesia, sebagai negara dengan kekayaan geopolitik luar biasa, harus melakukan hal serupa.
“Jangan sampai kita sibuk bertengkar di dalam ketika ancaman nyata datang dari luar,” ujarnya.
Yang menarik, pertemuan ini tidak terjadi begitu saja. Sufmi Dasco Ahmad yang merupakan Wakil Ketua DPR sekaligus Ketua Harian Gerindra disebut sebagai “arsitek diplomasi” di balik layar.
“Pak Dasco bukan hanya tokoh partai, tetapi juga aktor strategis yang mampu menjembatani kekuatan politik besar. Ia pernah memainkan peran krusial saat mempertemukan Prabowo dan Jokowi di MRT beberapa tahun lalu. Sebuah peristiwa simbolik yang membuka jalan Prabowo masuk kabinet Jokowi sebagai Menteri Pertahanan,” ungkapnya.
Amir menyebut Dasco kembali menjadi ‘penyambung lidah’ politik yang memfasilitasi pertemuan dua tokoh besar yang memiliki sejarah panjang dan kompleks.
“Bisa dibilang, Dasco adalah arsitek diplomasi politik di balik layar. Perannya tidak mencolok, tapi sangat strategis,” jelas Amir.
Adapun dalam pertemuan dengan Prabowo, Megawati didampingi oleh Budi Gunawan, sosok yang kini menjabat Menko Polhukam di pemerintahan Prabowo. Amir melihat kehadiran Budi Gunawan sebagai sinyal bahwa komunikasi antara elite PDI Perjuangan dan kubu Prabowo tidak pernah benar-benar terputus.
“Pak BG adalah tokoh intelijen yang memiliki jejaring luas dan kemampuan membaca peta politik secara presisi. Kehadirannya menunjukkan bahwa ada niat baik dan kalkulasi matang dalam proses rekonsiliasi ini,” ungkap Amir.
Amir menyebut konfigurasi baru ini sebagai potensi “koalisi kebangsaan” yang bukan hanya pragmatis secara politik, tetapi juga strategis dalam menjaga stabilitas nasional.
Meski pertemuan ini membuka peluang besar untuk kerja sama lintas partai dalam membangun bangsa, Amir mengingatkan bahwa tantangannya tidak sedikit.
“Peluangnya adalah lahirnya pemerintahan yang kuat dan inklusif. Tapi tantangannya adalah bagaimana menyatukan visi, mengelola ego elite, dan menjawab ekspektasi publik yang tinggi,” tutur Amir.
Ia juga mengingatkan bahwa rakyat Indonesia akan melihat sejauh mana rekonsiliasi ini benar-benar membawa manfaat nyata, bukan hanya elitis di atas permukaan.
“Apakah ini akan menjadi langkah menuju pembangunan nasional yang berkelanjutan atau sekadar pencitraan sesaat? Itu akan diuji oleh waktu dan kebijakan yang lahir ke depan,” Amir menegaskan.
Amir Hamzah menutup pandangannya dengan menyerukan pentingnya menjaga semangat kebangsaan yang inklusif dan berorientasi pada kepentingan nasional.
“Kalau elite politik bisa duduk bersama, mengesampingkan masa lalu, dan menyusun agenda kebangsaan secara kolektif, maka bangsa ini punya harapan besar untuk menjadi kekuatan baru di kawasan maupun dunia,” katanya.
Pertemuan Prabowo dan Megawati bisa jadi bukan hanya peristiwa Lebaran biasa, melainkan awal dari babak baru politik nasional yang lebih matang, inklusif, dan strategis.