Aryati Hamzy: Perilaku Korupsi Mirip Orang yang Alami Adiksi

Intime – Dokter Psikiater Balai Besar Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN), Aryati Hamzy menjelaskan persamaan antara kondisi kejiwaan seseorang yang melakukan tindakan korupsi dengan seseorang yang mengalami adiksi.

Ia menilai persamaan tersebut dapat terlihat dari kondisi biologis maupun psikologis seorang koruptor.

“Kita bisa menemukan adanya kemiripan (perilaku korupsi) dengan kondisi yang terjadi pada orang-orang yang mengalami adiksi. Baik adiksi karena narkoba, ataupun adiksi perilaku. Contohnya seperti pornografi, judi online, ataupun game,” ucap Aryati saat berbincang dengan Eddy Wijaya dalam chanel podcast EdShareOn yang tayang pada Rabu, 16 April 2025, yang dikutip Jumat (18/4).

Menurut Aryati, kondisi otak manusia saat melakukan tindakan nekat seperti korupsi mengalami sejumlah perubahan. Perubahan itu terjadi pada bagian otak Prefrontal Cortex (PFC) bagian dorsolateral kanan, dan The Temporoparietal Junction (TPJ) bagian kanan.

“Terjadi sesuatu di otak oleh karena perilaku dari korupsi ini. Terjadi pengaktifan berlebihan (hiperaktivitas) fungsi dari otak di area temporoparietal kanan itu bisa mengindikasikan bahwa seseorang memiliki kecenderungan untuk selfish (mengutamakan diri sendiri
daripada orang lain),” ujar dia.

Perempuan kelahiran Ujung Pandang, 29 Juli 1977 itu memaparkan cara kerja kedokteran dalam melihat perubahan otak tersebut, yakni dengan menggunakan alat brain imaging seperti fMRI dan Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT).

“Dengan SPECT imaging kita bisa lihat aktivitas otak dari warnanya karena pada saat pemeriksaan dilakukan pemasukan kontras dan aktivitas otak dinilai secara tiga dimensi apakah mengalami peningkatan atau penurunan,” ujarnya.

Alumni Strata Tiga (S3) kampus Nasional Sun Yat-sen University (NSYSU) Taiwan itu menjelaskan, terdapat fenomena lain yang mengakibatkan seseorang melakukan korupsi, selain karena pengaruh perubahan otak pada PFC dan TPJ. Fenomena tersebut, kata dia, juga memiliki kemiripan dengan kasus adiksi, yakni perilaku berulang atau yang disebut kompulsif.

“Misalnya seseorang yang berhasil melakukan korupsi ada keinginan untuk mengulang kembali. Dan juga nilai dari korupsi itu bisa semakin hari semakin meningkat. Dalam kasus adiksi kita kenal hal ini dengan istilah toleransi,” ucapnya.

Kendati demikian, menurut Aryati, mengkategorikan perilaku korupsi sebagai gangguan jiwa membutuhkan penelitian lebih mendalam maupun legitimasi dari ilmu kedokteran.

“Untuk penetapan suatu kasus dikatakan sebagai gangguan jiwa itu perlu melalui suatu proses yang panjang untuk dimasukkan di dalam kriteria diagnosis berdasarkan DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fifth Edition),” katanya.

Aryati berharap peran orang tua dalam memberikan pendidikan kepada anak agar terhindar dari perilaku yang menyimpang tersebut seperti pendidikan nilai-nilai moral dan kejujuran.

“Pengasuhan anak itu adalah tanggung jawab yang diberikan Tuhan yang maha kuasa agar kita bisa menciptakan generasi penerus bangsa yang berintegritas dan bersih dari korupsi,” ucapnya.

Aryati Hamzy menambahkan, ketidaksepakatannya soal penerapan hukuman mati bagi koruptor. “Saya menilai hukuman mati bukan jalan terbaik,” kata dia kepada Eddy Wijaya.

Kepala SMF Neuropsikiatri RS Tadjuddin Chalid Makassar pada tahun 2012 itu melihat bahwa penerapan hukuman mati bagi koruptor kurang berpengaruh terhadap psikologi seseorang. Seperti yang terjadi di China yang menerapkan hukuman mati, namun tidak masuk 10 besar negara dengan penanganan korupsi terbaik tingkat dunia.

“Kalau kita melihat pengalaman di negara lain seperti China yang menerapkan hukuman mati untuk pelaku korupsi, dan kita melihat bagaimana pencapaian China memberantas korupsi, saya melihat hal yang tidak berbeda,” kata Aryati.

Aryati mengatakan, hukuman bagi koruptor yang paling tepat seperti yang dilakukan di Singapura, yakni dengan memberikan hukuman moral bahkan kepada keluarga koruptor tersebut.

“Memberikan dampak secara psikologis, dan juga secara sosial dengan harapan bahwa ke depannya mereka (koruptor) ada itikad untuk tobat dalam segi spiritual,” katanya.

Transparency International (TI) mengeluarkan Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) untuk 180 negara pada 2024. Urutan pertama adalah Denmark dengan IPK 90, posisi kedua yakni Finlandia dengan skor IPK 88, menyusul Singapura 84, Selandia Baru 83, Luksemburg, Norwegia dan Swiss masing-masing 81, kemudian Swedia 80,
Belanda 78, Australia, Islandia dan Irlandia masing-masing 77.

Sementara Indonesia berada pada peringkat 99 dengan skor 37. Adapun China berada pada peringkat 76 dengan skor IPK 43.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini