Asprindo Sebut Ketimpangan Tak Akan Teratasi Jika Indonesia Terus Andalkan Pertumbuhan GDP

Intime – Ketua Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Bumiputera Nusantara Indonesia (Asprindo), Prof. Didin S. Damanhuri, mengingatkan bahwa Indonesia tidak akan mampu menghapus ketimpangan pendapatan jika tetap mempertahankan tata kelola perekonomian yang berorientasi pada pertumbuhan Produk Domestik Bruto (GDP Oriented).

Menurutnya, pendekatan tersebut justru berpotensi memperlebar jurang kesejahteraan antarwarga.

“Jika Indonesia tidak mengubah tata kelola perekonomiannya, maka Indonesia tidak akan bisa menghapus ketimpangan yang ada. Bahkan, jika meneruskan sistem pertumbuhan ekonomi berbasis GDP Oriented, ketimpangan akan semakin meluas,” kata Prof. Didin di Jakarta, Jumat (21/11).

Ia menjelaskan terdapat tiga model orientasi pembangunan ekonomi yang biasa diterapkan negara berkembang. Pertama, model di mana pertumbuhan PDB hanya menjadi indikator, sementara kebijakan diarahkan pada pemerataan atau growth through equity. Contoh keberhasilan model ini terlihat di Jepang, Taiwan, Malaysia era Mahathir, serta Korea Selatan yang memulai pembangunan melalui reformasi agraria.

“Jepang dan Taiwan mampu tumbuh tinggi melalui pemerataan. Di Taiwan, hampir seluruh sektor diisi UMKM, sedangkan di Jepang desain pembangunannya sejak awal menekankan pemerataan,” ujarnya.

Model kedua adalah growth with equity, yakni kombinasi pertumbuhan dan pemerataan seperti yang diterapkan Indonesia pada era Soeharto atau Thailand dengan penguatan agroindustri rakyat.

Model ketiga adalah orientasi pertumbuhan tinggi dengan segala cara atau GDP Oriented, yang menurut Didin terjadi di Indonesia era reformasi melalui privatisasi besar-besaran, utang luar negeri, dan pembangunan infrastruktur masif.

Ia menyoroti bahwa ketimpangan Indonesia tercermin dari data Bank Dunia yang menunjukkan 40 persen penduduk berpendapatan terendah hanya menikmati sekitar 17 persen dari total pertumbuhan ekonomi. Gini ratio pengeluaran berada di kisaran 0,38–0,41, sementara gini ratio pendapatan mencapai hampir 0,5.

Indikator Material Power Index (MPI) juga menunjukkan kesenjangan serius. “Pada 2023, Indonesia menduduki peringkat pertama dunia dengan angka 1.236.795, meningkat drastis dibanding 2011 dan melampaui China,” jelasnya.

Prof. Didin menekankan perlunya perubahan tata kelola untuk memastikan pertumbuhan sejalan dengan pemerataan. Ia mengusulkan penguatan lembaga seperti Bulog, KPPU, dan KPK untuk mengendalikan harga pokok, mengurangi korupsi, serta mencegah struktur ekonomi oligarkis.

Ia juga mendorong reforma fiskal dan moneter dengan membagi kewenangan Kementerian Keuangan, Bappenas, dan Bank Indonesia.

“Harus dipisah. Bappenas sebagai perencana dan pengelola otoritas fiskal bersama Kemenkeu, sementara Bank Indonesia fokus pada otoritas moneter,” pungkasnya.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini