Oleh Achmad Nur Hidayat (Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute)
Dikutip dari Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono, mengungkapkan, jika harga BBM naik dan pengaruhnya ke inflasi tinggi, maka kondisi ini akan berdampak pada kemiskinan.
Dia menyampaikan, bahwa belajar dari pengalaman penyesuaian harga BBM pada 2005. Dari data BPS, pada Maret 2005, pemerintah menaikkan harga bensin 32,6% dan solar 27,3%.
Kenaikan kedua terjadi pada Oktober harga bensin kembali dinaikkan 87,5% dan solar 104,8%, dampaknya adalah naiknya naiknya angka inflasi hingga 11,7%.
Akibat penyesuaian harga tersebut, inflasi melesat hingga 17,15%. Pemerintah akan menggelontorkan Rp24,17 triliun yang dipecah menjadi BLT sebesar Rp12,4 triliun dengan menyasar 20,65 juta keluarga penerima manfaat (KPM) yang disalurkan melalui Kementrian Sosial (Kemensos) melalui PT. Pos Indonesia dengan nilai Rp150 ribu selama empat kali.
Selebihnya, adalah Bantuan Subsidi Upah (BSU) dengan alokasi anggaran Rp9,6 triliun yang salurkan melalui Kementeri Ketenagakerjaan dengan sasaran 16 juta pekerja yang punya gaji di bawah Rp3,5 juta per bulan masing-masing akan diberikan sebesar Rp600ribu.
Sisanya adalah subsidi transportasi yang diperuntukan untuk angkutan umum. BLT yang disalurkan dinilai tidak sebanding dengan besarnya dampak yang akan ditimbulkan.
Pertama, penyaluran bantuan dengan nilai kecil sebesar Rp150 ribu untuk BLT dan Rp600 ribu untuk BSU (tidak jelas untuk berapa bulan).
Tentunya, hanya meredam dampak yang timbul untuk waktu sementara dengan nilai yang tidak signifikan, sementara dampak yang timbul dari kenaikan harga ini akan menimpa dalam waktu yang panjang.
Harga-harga yang sudah naik karena terkena dampak akan sulit untuk turun kembali, para pekerja yang di PHK belum tentu bisa mendapatkan pekerjaan kembali dalam waktu yang cepat.
BLT diberikan ke keluarga miskin tidak antisipatif karena yang terdampak bukan masyarakat kecil saja, yang paling terdampak adalah kelompok menengah yang akan menjadi kelompok miskin baru.
Data masyarakat miskin di Departemen Sosial tentunya tidak didesain untuk antisipasi org miskin baru tersebut karena data tidak mudah terupdate sehingga bantalan sosial akan mubazir dan tidak mampu menolong mereka yang jatuh miskin akibat kenaikan bbm tersebut.
Dengan demikian Bantalan Sosial yang digelontorkan sebesar Rp24,17 triliun tidak akan sebanding dengan tingkat risiko yang akan ditanggung atas kebijakan kenaikan BBM.
Pemerintah bisa menggunakan defisit anggaran yang masih ada ruang di atas 3% sebagaimana UU membolehkan untuk mempertahankan subsidi BBM, dan juga proyek-proyek infrastruktur yang lemah proyeksi benefitnya terhadap APBN harus dialihkan dulu untuk menangani subsidi BBM, contohnya tunda pembangunan IKN dan PMN Kereta Api Cepat.
[…] Sumber: intime.id […]