Intime – Pemerhati Sosial dan Kebangsaan, Abdul Rohman Sukardi, menilai rentetan bencana ekologis yang melanda berbagai wilayah Indonesia menunjukkan bahwa kerangka hukum lingkungan yang ada tidak berjalan efektif.
Ia menegaskan, Indonesia sebagai negara kaya sumber daya alam justru berada dalam posisi paling rentan terhadap bencana ekologis, mulai dari banjir bandang, longsor, hingga pencemaran industri.
Menurut Abdul Rohman, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 sebenarnya telah menyediakan payung hukum yang cukup lengkap. Namun implementasinya belum mampu mencegah kerusakan lingkungan yang meningkat setiap tahun.
Puncak kegagalan itu, katanya, tampak pada bencana banjir dan longsor besar di Sumatra pada akhir November hingga Desember 2025, yang menelan 753 korban jiwa, 464 orang hilang, dan memaksa 570 ribu penduduk mengungsi.
“Data BNPB menunjukkan dampak luar biasa. Ini bukan semata anomali cuaca, tetapi akibat degradasi lingkungan yang sudah berlangsung lama,” ujar Abdul Rohman.
Ia menjelaskan, deforestasi di kawasan hulu DAS, alih fungsi lahan, hingga eksploitasi kawasan gambut menjadi faktor utama yang memicu kerentanan bencana. Namun akar persoalan terletak pada kesenjangan antara hukum tertulis dan penegakannya.
“Hukum sering tegas pada rakyat kecil, tapi longgar terhadap korporasi. Ini membuat legitimasi hukum runtuh,” tegasnya.
Abdul Rohman juga mengkritik lemahnya proses AMDAL yang kerap hanya menjadi formalitas, serta fenomena regulatory capture yang membuat regulasi berjalan searah dengan kepentingan pelaku usaha. Minimnya profesionalisme dan sarana penegakan hukum turut memperpanjang daftar persoalan.
Sebagai solusi, ia menekankan perlunya reformasi komprehensif, mulai dari perbaikan standar hukum, moratorium izin di kawasan rawan, peningkatan kapasitas penegak hukum, hingga penggunaan teknologi pemantauan berbasis data ilmiah.
Selain itu, transparansi informasi lingkungan dan keberanian menindak aktor besar juga menjadi kunci.
“Hukum lingkungan hanya akan efektif jika didukung integritas, kapasitas, dan komitmen politik. Tanpa itu, bencana ekologis akan terus berulang,” pungkasnya.

