Bernapas Panjanglah, Malang…

Ketika penggemar sepak bola di seluruh penjuru dunia sedang merayakan Piala Dunia, ketika PSSI sudah sibuk kembali dengan persiapan liga, Aremania dan warga Malang masih terus berjuang mencari keadilan.

—-

PERGILAH ke Malang hari-hari ini, dua bulan lebih setelah tragedi Kanjuruhan yang menghilangkan 135 nyawa warga kota ini. Di setiap sudut kota, dari pusat pemerintahan hingga tembok-tembok perkampungan, gugatan untuk mengusut tuntas tragedi tersebut terus digaungkan.

Memasuki Kota Malang dari arah Surabaya, kita akan langsung disambut oleh spanduk berukuran besar yang berisi foto-foto peristiwa Kanjuruhan. Ada gambar barisan anak muda yang mengangkat mayat-mayat, ada dokumentasi ketika kerusuhan terjadi, ada foto-foto korban yang bermata merah akibat tembakan gas air mata. 

Semakin melaju ke tengah kota, pandangan kita tak akan lepas dari berbagai spanduk yang berisi kata-kata gugatan; Usut Tuntas, Mati karena Polisi, Sedang Berjuang Mencari Keadilan, Klubnya Tak Peduli Suporternya Berjuang Sendiri, Yang Bernyawa Hanya Menjadi Angka, dan seterusnya.

Tepat di depan kantor wali kota, foto-foto korban yang masih belia berjajar. Wajah-wajah remaja yang seharusnya masih punya masa depan panjang, namun malah mati sia-sia dan tak kunjung mendapat keadilan. Selain seruan-seruan garang yang menggelorakan kemarahan sekaligus kesedihan, di berbagai tempat, dalam wujud coretan-coretan piloks ala kadarnya, akan kita jumpai tulisan serupa kode: ACAB 1312. Saya yakin banyak yang masih menduga-duga, apa sebenarnya makna dari kode ini. 

Mungkin ada yang mengira itu adalah kata walikan khas Malang, yang harus dibaca dari belakang. ACAB –artinya baca. Sebuah seruan untuk membaca sebagai bagian dari gerakan literasi? Lalu bagaimana dengan 1312? Oh itu mungkin penanda tanggal 13 Desember, atau mungkin anak-anak muda yang mencoret adalah penggemar Taylor Swift yang lahirnya 13 Desember?

ACAB adalah singkatan dari All Cops Are Bastards –semua polisi adalah bajingan. Ini adalah istilah yang sudah digunakan sejak puluhan tahun lalu untuk memprotes kesewenang-wenangan polisi, berawal dari Inggris lalu dikenal luas di seluruh dunia. Sementara 1312 adalah istilah bentuk lain dari ACAB. Kalau melihat urutan abjad, 1 adalah simbol pengganti untuk A, 3 adalah C, dan 2 adalah B. ACAB dan 1312 adalah ungkapan protes dan bentuk ketidakpercayaan pada polisi karena semua polisi adalah bajingan.

Spanduk, poster, coretan-coretan kemarahan yang bertebaran di seluruh penjuru Malang bisa kita lihat setidaknya dari dua hal. 

Pertama, ini adalah bukti warga Malang masih gigih memperjuangkan keadilan. Kedua, aparat keamanan dan otoritas tak berdaya untuk membersihkan kota dari spanduk-spanduk itu. Awalnya memang ada upaya untuk mencopoti spanduk-spanduk itu, namun warga dengan cepat memasang spanduk baru. Begitu seterusnya hingga akhirnya berbagai seruan protes terus menghiasi Malang hingga hari ini.

Jalan Panjang

Malang adalah wajah perlawanan. Pemuda Kota Malang menjadi salah satu pilar perlawanan terhadap penjajah Belanda dan menjadi simbol usaha negeri ini mempertahankan kemerdekaan dari cengkeraman Belanda. Pada 1947, misalnya, Malang mengorbankan 35 pemuda dan pelajarnya yang tergabung dalam Pasukan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) untuk menahan masuknya kembali sang penjajah.

Munir, aktivis pejuang HAM yang dibunuh di atas pesawat dan hingga kini kasusnya belum juga tuntas terkuak, berasal dari Malang. Ia menamatkan pendidikan hukum di Universitas Brawijaya sebelum pindah ke Jakarta. Museum HAM Munir kini telah berdiri di Batu atas dukungan dari berbagai lembaga HAM dan kemanusiaan, juga dukungan masyarakat.

Malang juga telah melahirkan sastrawan perempuan, Ratna Indraswari Ibrahim, yang meninggal dunia pada tahun 2011. Ratna, seorang difabel yang hanya bisa menulis dengan bantuan asisten yang menuliskan apa yang dikatakannya, telah menghasilkan karya-karya yang bersuara lantang atas ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. 

Dari atas kursi rodanya, Ratna menggaungkan keberpihakan pada perempuan, pembelaan pada lingkungan, hingga perlawanan pada konglomerasi.

Malang juga menjadi salah satu pilar perlawanan terhadap kebodohan dan kemandekan berpikir. Universitas Negeri Malang (dulu IKIP Malang) dan Universitas Brawijaya serta banyak universitas swasta di kota ini sejak dahulu menjadi motor dalam inovasi pendidikan guru di Indonesia serta melahirkan intelektual, pendidik, dan tokoh pendidikan yang besar jasanya.

Dengan sejarah perlawanan dan tradisi intelektualitas seperti ini, Malang tidak akan diam atau mau dibungkam.

Di saat polisi terus pura-pura tidak mendengar dan sibuk mengalihkan perhatian, arek Malang tetap tak lelah mendesak mereka untuk bertanggung jawab. 

Di saat media sudah mencoba melupakan tragedi kemanusiaan ini dan lebih memilih menyiarkan pesta pernikahan putra bungsu presiden, api semangat mencari keadilan tetap tak terpadamkan.

Di saat para pemimpin politik kehilangan hati nurani dan keinginan untuk menuntaskan pembunuhan ini serta malah sibuk dengan persiapan kampanye dan promosi diri menjelang 2024, rakyat tak punya pilihan selain menghukum mereka di pemilu dua tahun mendatang.

Perjuangan untuk mendapat keadilan harus punya napas panjang. Sebagaimana yang dikatakan Wiji Thukul dalam sajaknya; Bernapas panjanglah. Bernapas panjanglah, Malang… Oleh: Okky Madasari, dilansir dari JawaPos.com

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini