Bivitri Susanti: Menjadikan Soeharto Pahlawan Sama Saja Membuka Jalan Kembalinya Otoritarianisme

Intime – Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menilai wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden RI ke-2 Soeharto bukan sekadar perdebatan moral atau sejarah, tetapi bisa menjadi “alarm bahaya” bagi arah ketatanegaraan Indonesia.

Menurutnya, jika legitimasi Soeharto diangkat kembali sebagai simbol kepahlawanan, maka jalan menuju kembalinya sistem otoriter seperti masa Orde Baru akan terbuka lebar.

“Ini semacam alarm sebetulnya, kami menyebutnya semacam pathway untuk kembali kepada UUD yang lama, yaitu naskah awal yang dibuat pada Juli 1945,” ujar Bivitri di Jakarta, Kamis (6/11)

Bivitri menjelaskan, seluruh proses amandemen UUD 1945 yang dilakukan antara tahun 1999 hingga 2002 didorong oleh pengalaman kelam masa pemerintahan Soeharto. Pembatasan masa jabatan presiden, pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK), dan penguatan prinsip hak asasi manusia (HAM) merupakan bentuk koreksi terhadap penyalahgunaan kekuasaan di era Orde Baru.

“Kalau teman-teman ingat, amandemen pertama UUD 1945 itu membatasi masa jabatan presiden dari tak terhingga menjadi dua kali. Itu belajar dari Soeharto. Lalu kita punya Mahkamah Konstitusi agar kebijakan undang-undang bisa diuji, karena dulu semua tidak bisa di-challenge,” paparnya.

Ia menilai, jika Soeharto kini justru dilegitimasi sebagai pahlawan nasional, maka pembenaran terhadap sistem kekuasaan yang dulu dikritik bisa saja muncul kembali.

“Bayangkan kalau legitimasi perubahan UUD 1945 itu hilang karena Soeharto dianggap pahlawan, maka ini jalan yang sangat mulus tanpa kerikil untuk balik ke UUD 1945 naskah awal,” kata Bivitri.

Menurutnya, kondisi tersebut akan berbahaya karena UUD 1945 versi awal tidak memiliki instrumen demokrasi dan pengawasan kekuasaan yang kini menjadi fondasi negara hukum modern.

“Kalau balik ke UUD 1945 naskah awal, kita tidak punya Mahkamah Konstitusi, tidak ada pasal-pasal HAM, tidak ada pembatasan masa jabatan presiden, tidak ada Komisi Yudisial, bahkan tidak ada KPU seperti sekarang. Itu mengerikan,” tegasnya.

Selain aspek politik, Bivitri juga menyoroti klaim yang menyebut wacana ini memiliki dasar hukum atau dukungan dari ketetapan MPR. Ia menegaskan, hal tersebut keliru secara konstitusional.

“Kalau dikatakan dari aspek legalitas sudah legal, itu salah. Karena sejak amandemen UUD 1945 tahun 2002, MPR tidak boleh lagi mengeluarkan TAP baru. Jadi kalau ada yang bilang ada perubahan TAP MPR tentang pengadilan atau status Soeharto, itu tidak benar,” ujarnya.

Bivitri menegaskan, langkah apapun yang berpotensi mengaburkan batas antara masa kelam Orde Baru dengan nilai reformasi harus diwaspadai.

“Kalau legitimasi Soeharto sebagai pahlawan diterima, maka pelan-pelan kita sedang membuka jalan mundur menuju sistem yang pernah menindas rakyat. Itu bukan hanya berbahaya secara politik, tapi juga secara konstitusional,” pungkasnya.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini