Intime – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama Partai Buruh menolak keras usulan kenaikan upah minimum tahun 2026 yang diajukan oleh Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) dan kalangan pengusaha. Kedua organisasi buruh tersebut menegaskan tetap berpatokan pada tuntutan kenaikan 8,5 hingga 10,5 persen.
Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menyebut angka itu menjadi acuan utama perjuangan buruh di seluruh Indonesia dalam pembahasan di Dewan Pengupahan provinsi maupun kabupaten/kota. Selain itu, ia juga menekankan pentingnya penerapan upah minimum sektoral yang nilainya lebih tinggi dari upah minimum kabupaten/kota (UMK).
“Angka 8,5 hingga 10,5 persen itulah yang menjadi acuan bagi serikat buruh di seluruh daerah. Selain itu, kami juga memperjuangkan adanya upah minimum sektoral yang nilainya harus lebih besar daripada UMK,” tegas Said Iqbal dalam keterangan tertulisnya, Minggu (9/11).
Lebih lanjut, Said Iqbal menyatakan KSPI dan Partai Buruh menolak rencana pemerintah yang hendak menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) baru tentang Pengupahan menjelang penetapan upah minimum.
“PP ini belum pernah dibahas dengan serikat pekerja. Kalau tiba-tiba PP itu diterbitkan menjelang penetapan upah, itu ngawur dan ngaco,” ujarnya tegas.
Said Iqbal juga menyoroti pernyataan Ketua Dewan Pengupahan Nasional (DEN) yang mengaku telah menghadap Presiden dan menyatakan Presiden setuju dengan formula baru penetapan upah minimum. Menurutnya, klaim tersebut tidak benar.
“Kami menduga itu bohong. Tidak benar Presiden Prabowo setuju terhadap formula baru tersebut,” katanya.
Ia menilai, sejumlah pejabat pemerintah terkesan ingin membuat aturan sepihak tanpa melibatkan serikat buruh, padahal kebijakan pengupahan menyangkut langsung nasib jutaan pekerja.
“Bagaimana mungkin kebijakan yang menyangkut upah buruh dibuat tanpa melibatkan buruh sendiri? Ini bertentangan dengan semangat dialog sosial dan prinsip keadilan,” tutur Iqbal.
Lebih lanjut, Said Iqbal mengingatkan bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023, penetapan kenaikan upah minimum harus mengacu pada pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
“Inflasi dari Oktober 2024 sampai September 2025 sebesar 2,65 persen dan pertumbuhan ekonomi 5,12 persen. Adapun indeks tertentu adalah hak prerogatif Presiden, bukan diputuskan oleh sekumpulan orang di luar mandat konstitusi,” jelasnya.
Menurut Said Iqbal, pada tahun sebelumnya Presiden Prabowo memutuskan indeks tertentu mendekati 0,9, dan dengan kondisi makro ekonomi yang relatif sama, tidak ada alasan bagi pemerintah menurunkan indeks tersebut menjadi 0,2–0,7.
“Kalau indeks diturunkan, artinya Menaker justru melindungi pengusaha hitam yang ingin membayar upah murah,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan pesan Presiden Prabowo bahwa upah layak akan meningkatkan daya beli, konsumsi, dan pertumbuhan ekonomi nasional.
“Kalau menterinya malah menurunkan indeks jadi 0,2, itu melawan kebijakan Presiden sendiri. Ini kebijakan kapitalistik yang bertentangan dengan visi kerakyatan Presiden,” tutup Said Iqbal.

