Intime – Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Chatib Basri, menilai terdapat kesamaan penyebab di balik demonstrasi berdarah yang terjadi di Indonesia dan Nepal pada Agustus–September 2025. Menurutnya, akar masalah dari dua peristiwa tersebut adalah kegagalan negara dalam menyediakan pekerjaan yang layak bagi masyarakatnya.
Chatib menjelaskan, kegagalan itu terlihat dari tingginya proporsi tenaga kerja informal di kedua negara. Di Nepal, angka pekerja informal mencapai sekitar 80 persen, sementara di Indonesia mendekati 60 persen.
“Pekerjaan informal ini merupakan profesi yang tak memiliki jaminan sosial hingga kesehatan lengkap, serta pendapatan bulanan yang rata-rata belum mampu memenuhi daya beli secara kuat,” kata Chatib dalam keterangannya, Senin (3/11).
“Mereka tidak memenuhi syarat untuk perlindungan sosial, tetapi harus membayar pajak. Dan isu ini sangat penting karena mereka merasa tidak menikmati pembangunan,” lanjutnya.
Menurut mantan Menteri Keuangan itu, isu ketimpangan ekonomi kini semakin terasa di tengah perkembangan media sosial. Masyarakat dapat dengan mudah melihat kesenjangan gaya hidup antara pejabat dan rakyat biasa, yang pada akhirnya memperbesar rasa ketidakadilan sosial.
“Dulu ketimpangan itu abstrak. Sekarang, media sosial membuatnya menjadi tontonan sehari-hari. Kita bisa melihat bagaimana gaya hidup politisi dan pejabat pemerintah. Hal ini memperburuk persepsi publik terhadap ketimpangan.”
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kondisi tersebut memang nyata. Pada Februari 2025, jumlah tenaga kerja informal di Indonesia tercatat mencapai 86,56 juta orang atau 59,40 persen dari total penduduk bekerja. Sementara jumlah pekerja formal hanya 59,19 juta orang atau 40,60 persen.
Angka itu justru menunjukkan tren memburuk dibanding Februari 2024, karena proporsi tenaga kerja informal naik 0,23 persen poin, sedangkan pekerja formal menurun dalam jumlah yang sama.
Kenaikan pekerja informal juga didorong oleh banyaknya korban pemutusan hubungan kerja (PHK) yang akhirnya beralih ke sektor gig economy. Mereka mencari penghasilan melalui platform digital seperti GoJek, Grab, ShopeeFood, hingga TikTok Shop untuk bertahan hidup.
“Di negara seperti Indonesia, kita tidak punya asuransi pengangguran. Jadi, hanya orang kaya yang mampu menganggur. Kalau Anda miskin, Anda harus bekerja, meskipun di pekerjaan yang tidak layak atau informal,” pungkasnya.

