Intime – Tahun 2025 tercatat sebagai tahun kelam dalam sepak bola Indonesia. Satu demi satu, target ambisius yang dicanangkan pupus, berujung pada gelombang kekecewaan massal dan pergantian kepemimpinan teknis.
Puncak frustrasi datang dari kualifikasi Piala Dunia 2026. Meski menunjukkan permainan yang lebih solid, Timnas Indonesia senior gagal melangkah lebih jauh. Kekalahan krusial di partai penentu kembali memupus mimpi melihat Garuda di panggung terbesar sepak bola dunia.
Bukan hanya tim senior, lini usia muda juga ikut tumbang. Timnas U-23 gagal mengamankan tiket ke Piala Asia U-23, sebuah kemunduran setelah pencapaian sebelumnya.
Lebih menyakitkan, Timnas U-22 gagal mempertahankan medali emas SEA Games 2025 yang diraih pada edisi sebelumnya. Kegagalan di ajang regional ini menjadi pukulan telak bagi kebanggaan nasional.
Rantai kegagalan ini memicu konsekuensi besar. Seluruh staf pelatih tim nasional yang dipimpin oleh Patrick Kluivert, beserta para asistennya, akhirnya dipecat. Keputusan ini menandai berakhirnya proyek besar-besaran yang mengandalkan tenaga asing untuk membawa lompatan cepat.
Publik, yang sudah lama menahan kekecewaan, meluapkan amarahnya. Tagar #ErickOut membanjiri media sosial, menuntut pertanggungjawaban Erick Thohir selaku Ketua PSSI. Mereka menilai ada masalah fundamental dalam perencanaan dan manajemen di level atas, di luar sekadar kesalahan teknis pelatih.
Tutup buku 2025, sepak bola Indonesia berada di persimpangan. Refleksi tahun ini menyisakan pertanyaan mendasar: setelah proyek mahal dan ambisius berakhir pahit, ke mana arah pembinaan sepak bola tanah air?
Pencarian identitas dan fondasi yang lebih kokoh menjadi pekerjaan rumah utama menyambut tahun baru, dengan beban kegagalan 2025 yang harus dijadikan pelajaran paling berharga.

