Oleh Iwan Nur Iswan
Akhirnya, tahapan pemilu serentak disepakati olek KPU dan DPR. Genderang perlombaan politik mulai ditabuh. Meski sebenarnya, jurus politik sudah diluncurkan lebih awal.
Ingin bukti? Secara kasat mata mudah dicermati. Lihatlah baliho, billboard dan spanduk yang sudah dipasang. Bendera-bendera politik dikibarkan. Dikemas dengan bungkus deklarasi, rapat besar atau silaturahmi nasional.
Perdebatan politik dan perlombaan isu bertebaran. Baik di ruang media massa ataupun di sosial media. Isu-isu saling digoreng. Misalnya saja, Untuk menutup berita baik Formula E, ditutupi dengan jurus menebar ketakutan (fear mongering) “FPI Reborn” dan “Bendera HTI”.
Saling serang politik terjadi. Relawan seorang capres berseteru panas dengan salah satu politisi Partai Besar. Yang diperdebatkan adalah dari manakah asal dana penggalangan dan bagaimana orkestrasi relawan dilangsungkan.
Dalam politik, hal itu wajar dan mudah diterima sebagai satu kenyataan. Itulah konsekwensi dari demokrasi yang kita pilih. Yang penting, jangan sampai melanggar hukum dan prinsip demokrasi. Baku hantam fisik, darah, kekerasan, pemaksaan kehendak, fitnah dan curang haruslah dicegah.
Tapi, demokrasi seperti yang terjadi sekarang — dalam pandangan kami — haruslah semakin diperbaiki dan meningkat kualitasnya. Substansi perdebatan yang terjadi belum optimal. Lebih tepatnya belum berkualitas. Debat kusir kerap dipertontonkan. Rebutan berbicara. Adu kuat suara masih di kulit dan permukaan. Tegasnya, terlalu banyk mempertengkarkan yang bukan esensial.
Perdebatan masih belum terlihat luas dan merata menyangkut perang tanding gagasan. “Pertengkatannya” belum menyentuh dalam kepada kebijakan (policy) masa depan. Padahal tantangan ke depan luar biasa berat.
Perkubuan dan pembelaan politiknya masih lebih banyak pada rasa like and dislike. Masih menyerang personal. Masih berkutat pada identitas. Saling tuding dan saling menyalahkan. Menyampaikan kebenaran dirinya dengan menyalahkan lawannya. Masih emosian. Masih limbung dalam kebencian dan anti-antian. Bukan anti-sipasi.
Idealnya menuju 2024 nanti, kita wajib bersama-sama menggeser paradigma perlombaan politik dari sekedar “politics” ke “Policy”. Bukankah Output perlombaan politik dan kompetisi politisi adalah gagasan kebijakan?
Mengapa kita tidak menyoroti capres-cawapres berdasarkan parameter rekam jejak kebijakannya selama ia mengemban amanah. Coba risetlah apa prestasinya? bagaimana ia men-deliver janji-janji kampanyenya? Berapa persen ya g sudah ia tunaikan? Apa gagasan besarnya jika ia menjadi pelayan masyarakat dengan menjadi Presiden kelak?
Apa jurusnya dalam menanggulangi hutang? Hutang ini menjadi beban nasional sampai anak cucu kita. Kenapa kita seperti “bertekuk-lutut” pada hal yang sebenarnya mudah ditangani? Misalnya urusan minyak goreng. Bagaimana cara menerapkan action plan agar kita tidak tergantung pada importasi pangan?
Ah, ada begitu banyak isu dan gagasan penting yang seharusnya diperdebatkan dan dipersiapkan. Untuk masa depan anak cucu kita. Tapi sebagian besar dari kita malah terbuai pada dan hanya pada “pertarungan jabatannya”. Bukan pada hakekat atau esensi amanahnya.
Mudah-mudah kita segera meng-insyafinya. Seperti telah disebutkan diatas. Yakni menggeser mind-set permainan dari sekedar tarian politics kepadan suguhan Policies. Semoga!