Didi Irawadi Kritik Klaim Prabowo soal Penurunan Angka Pengangguran: Grafik Indah, tapi Rakyat Menderita

Intime – Mantan Anggota DPR RI, Didi Irawadi Syamsuddin, melontarkan kritik pedas terhadap klaim penurunan angka pengangguran yang disampaikan pemerintah Presiden Prabowo Subianto.

Didi menyebut statistik yang dibanggakan pemerintah tidak sejalan dengan realitas yang dihadapi masyarakat di lapangan.

“Presiden Prabowo Subianto boleh tersenyum melihat angka pengangguran yang katanya “terendah sejak 1998.” Tapi di luar ruang rapat, kenyataan berkata lain,” tutur Didi dalam keterangannya di Jakarta, Senin (27/10).

Ia menggambarkan situasi dimana pabrik-pabrik merumahkan karyawan, ribuan buruh kehilangan jam kerja, dan para lulusan baru frustasi dengan lamaran kerja yang tak kunjung dibalas.

“Statistik boleh turun, tapi rasa cemas di dapur rakyat justru naik,” tegasnya.

Menurut Didi, masalah utamanya bukan terletak pada angka, tetapi pada tafsirnya. Ia menuduh para pembantu presiden lebih sibuk “menyenangkan telinga ketimbang menegakkan fakta”.

Akibatnya, lanjut dia, negara berubah menjadi “ruang gema” di mana hanya kabar baik yang menggema, sementara kabar buruk disenyapkan.

“Laporan disusun bukan untuk memperbaiki, melainkan untuk memuji. Maka jadilah rapat kabinet seperti panggung opera data: musiknya indah, tapi liriknya palsu,” sindir Didi.

Politisi Demokrat tersebut menyoroti budaya “asal bapak senang” yang ia sebut sebagai “virus birokrasi paling menular”. Budaya ini, katanya, membuat pejabat sibuk mempercantik grafik alih-alih memperbaiki kebijakan substantive.

Dalam analisanya, Didi menyebutkan bagaimana realitas pahit dipoles menjadi istilah yang indah.

“Pengangguran dipoles jadi prestasi, PHK disebut ‘efisiensi,’ dan kerja serabutan disulap menjadi ‘kewirausahaan’. Semua terdengar positif—sampai rakyat sadar, saldo rekening tetap negatif,” ujarnya

Didi juga menyentuh langsung pada dua kelompok yang paling merasakan dampak ekonomi: para pencari kerja dan buruh. Ia melukiskan gambaran suram anak muda lulusan kuliah yang hanya menemui pekerjaan kontrak singkat atau kesulitan berwirausaha tanpa modal.

Di sisi lain, ia memaparkan ironi antara narasi optimisme pemerintah dengan realita buruh yang kehilangan nafkah dan harus “berbagi mie instan”.

“Ironi ini telanjang di depan mata, tapi tertutup oleh infografis yang berwarna cerah. Di negeri ini, grafik memang sering lebih bahagia dari rakyatnya,” ujarnya.

Di akhir pernyataannya, Didi menyerukan agar presiden mencari kebenaran bukan dari para “pembisik yang pandai membuat grafik naik”, melainkan langsung kepada rakyat.

“Tanyalah pada pekerja yang kehilangan pesangon, atau sarjana yang masih menunggu panggilan kerja. Di situ letak data yang sesungguhnya,” imbaunya.

Ia menegaskan bahwa yang dibutuhkan negara bukanlah angka yang indah, melainkan kejujuran yang tegas. “Statistik yang dimanipulasi hanya menenangkan hati penguasa, bukan menghidupi rakyat,” pungkasnya.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini