Intime – Mantan anggota DPR Didi Irawadi Syamsuddin menyoroti ironi tata kelola energi nasional yang dinilainya semakin kehilangan arah.
Menurutnya, Indonesia sebagai negara penghasil minyak justru bergantung pada impor bahan bakar, termasuk dari Singapura, negara yang bahkan tidak memiliki satu pun sumur minyak.
“Indonesia adalah negeri penghasil minyak yang aneh. Kita punya cadangan minyak, tapi malah mengimpor besar-besaran, ironisnya dari Singapura, negara yang tidak punya sumur minyak satu pun,” kata Didi dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (11/10).
Didi menilai kondisi ini menggambarkan betapa manajemen energi nasional tersesat arah dan kehilangan keberanian untuk mandiri.
Ia menyoroti janji Pertamina yang sejak 2018 berkomitmen membangun tujuh kilang baru dalam lima tahun, namun hingga kini belum satu pun proyek yang rampung.
“Janji tinggal janji. Kilang Balikpapan, Tuban, hingga Bontang yang digadang-gadang jadi tulang punggung kemandirian energi, hasilnya nol besar. Yang terjadi justru kebakaran berulang, keterlambatan, dan proyek mangkrak seperti drama sinetron yang tak berkesudahan,” ujarnya.
Menurut politikus Partai Demokrat itu, tanpa pembangunan kilang baru, Indonesia akan terus menjadi pasar bagi negara lain. Ia mengkritik dalih pemerintah yang menyebut impor sebagai “shock absorber” atau penyeimbang harga sementara.
“Apa gunanya peredam kejut kalau mobilnya memang sengaja diarahkan ke lubang besar bernama ketergantungan impor permanen?” tegasnya.
Didi membandingkan situasi Indonesia dengan Malaysia yang kini menikmati hasil pembangunan sistem energi terintegrasi melalui Petronas.
“Malaysia yang merdeka setelah kita, sekarang punya kilang modern dan mandiri dari hulu sampai hilir. Sementara kita masih sibuk dengan studi kelayakan dan perebutan kursi direksi,” katanya.
Ia menambahkan, ketergantungan impor menyebabkan Indonesia kehilangan potensi pendapatan besar setiap harinya.
“Kita kehilangan miliaran rupiah setiap hari hanya untuk impor bahan bakar yang seharusnya bisa diolah di negeri sendiri. Impor dari Singapura membuktikan bahwa kita sengaja menjadikan diri sebagai pasar permanen,” ujarnya.
Didi menegaskan bahwa kemandirian energi bukan sekadar jargon politik, melainkan strategi bertahan hidup bangsa. Tanpa kilang baru, kata dia, Indonesia akan selalu terguncang setiap kali terjadi krisis global.
“Dulu Indonesia anggota OPEC yang disegani, sekarang kita sekadar pembeli yang antre di pintu negara lain. Semua karena kepemimpinan yang lebih suka berjanji ketimbang bekerja,” ucapnya.
Ia menutup pernyataannya dengan mengingatkan bahwa kilang minyak bukan sekadar proyek infrastruktur, melainkan simbol kedaulatan bangsa.
“Selama kilang hanya dijadikan alat politik, selama itu pula kita akan terus menanggung malu: negeri kaya energi yang hidup dari impor. Dan ketika rakyat membayar mahal di pom bensin, yang terbakar bukan hanya tangki Pertamina, tapi juga harga diri bangsa,” tegas Didi.