Didi Irawadi: Utang KCJB Rp 116 Triliun Cerminan Ambisi Politik Jokowi Kalahkan Akuntabilitas

Intime – Mantan anggota DPR RI Didi Irawadi Syamsuddin menilai utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) yang kini mencapai Rp116 triliun merupakan simbol dari ambisi politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengesampingkan kalkulasi ekonomi dan akuntabilitas publik.

“Dari proyek yang dijanjikan tanpa beban APBN, kini berubah menjadi simbol dari bagaimana ambisi politik bisa menyalip kalkulasi ekonomi dan akuntabilitas publik,” kata Didi kepada awak media di Jakarta, Kamis (16/10).

Menurut politikus Partai Demokrat itu, saat pertama kali diumumkan, Jokowi menegaskan proyek KCJB akan dibiayai penuh oleh BUMN dan investor Tiongkok. Namun, faktanya, biaya proyek justru membengkak dari sekitar USD 6 miliar menjadi lebih dari USD 8 miliar.

“Pemerintah akhirnya menyuntik dana negara untuk menutup celah pembiayaan. Inilah ironi dari slogan tanpa uang rakyat, sebab pada akhirnya, rakyatlah yang menanggung biaya dan bunganya,” ujar Didi.

Ia menambahkan, lebih dari 75 persen pendanaan proyek tersebut berasal dari pinjaman China Development Bank. Dengan bunga tinggi dan tenor panjang, kata dia, risiko jebakan utang semakin nyata.

“Agus Pambagio sudah memperingatkan, Pak Jonan juga sudah bilang sejak awal proyek ini tidak visible. Tapi Pak Jokowi ngotot. Sekarang utangnya Rp116 triliun, bom waktu yang akan dibayar anak cucu kita. Peringatan itu terbukti akurat — yang dikejar bukan efisiensi, melainkan gengsi,” tutur Didi.

Selain masalah pendanaan, Didi menilai harga tiket KCJB yang mencapai Rp250–350 ribu per perjalanan membuatnya tidak terjangkau oleh masyarakat luas.

“Bagi banyak warga, kecepatan 40 menit bukan kebutuhan, tapi kemewahan. Sementara di pelosok negeri, masih banyak pelajar menyeberangi sungai tanpa jembatan dan ribuan jalan desa tak tersentuh pembangunan. Negara ini tampak lebih sibuk membangun simbol kemajuan daripada pondasi kesejahteraan,” tegasnya.

Didi juga menyoroti aspek teknis proyek yang dianggap tidak efisien. Ia menyebut, stasiun akhir KCJB bukan berada di pusat Kota Bandung, melainkan di Padalarang, sehingga penumpang tetap harus berganti moda transportasi untuk mencapai tujuan.

“Seperti dikatakan Ignasius Jonan, untuk jarak segitu, kereta cepat tidak efisien. Tidak akan sebanding antara biaya dan manfaatnya. Maka, cepat di rel tak selalu berarti tepat arah,” jelas Didi.

Lebih lanjut, Didi menegaskan transparansi proyek masih menjadi catatan serius. Ia menyebut publik belum pernah mendapatkan gambaran utuh tentang isi kontrak maupun struktur pembiayaannya.

“Sementara laporan audit yang ada belum sepenuhnya menjawab pertanyaan mengenai pembengkakan biaya dan tanggung jawab finansial. Di negara demokrasi, proyek publik semestinya disertai keterbukaan dan akuntabilitas, bukan berlindung di balik label proyek strategis nasional,” ucapnya.

“Dalam konteks ini, yang melaju cepat bukan hanya keretanya, tapi juga cara informasi publik seakan menjauh dari jalur transparansi,” tambah Didi.

Didi pun menegaskan, tanggung jawab moral terhadap proyek KCJB tidak boleh diabaikan.

“Setiap kilometer rel adalah cicilan masa depan dan setiap bunga pinjaman adalah beban generasi mendatang. Dan ketika anak cucu nanti membayar tagihan itu, mereka mungkin bertanya, kenapa dulu bangsa ini lebih sibuk mengejar citra daripada menghitung akibatnya,” pungkasnya.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini