Intime – Panitia Kerja (Panja) Komisi III DPR RI bersama pemerintah sepakat menghapus ketentuan mengenai posisi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai penyidik tertinggi dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Kesepakatan tersebut diambil dalam rapat pembahasan klaster pasal-pasal RKUHAP yang digelar di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (13/11).
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, mengatakan penghapusan itu dilakukan untuk menghindari tumpang tindih pengaturan antara RUU KUHAP dan Undang-Undang Polri.
“Ya rekan-rekan, kita lanjutkan lagi pembahasan klaster-klaster dalam RKUHAP yang dianggap masih bermasalah. Kemarin sampai pada Pasal 112. Tapi ini ada yang perlu kita review sedikit saja, terkait Pasal 6,” ujar Habiburokhman membuka rapat.
Menurutnya, substansi dalam Pasal 6 RKUHAP yang mengatur penyidik Polri sebetulnya sudah sepenuhnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sehingga tidak perlu diulang dalam RKUHAP.
“Kemarin kita sudah drop ketentuan soal jaksa penuntut tertinggi yang dipilih presiden karena sudah diatur dalam Undang-Undang Kejaksaan. Maka hal yang sama kita perlakukan pada Polri. Karena sudah diatur di Undang-Undang Polri, enggak perlu redundant diatur di sini lagi,” jelasnya.
Setelah penjelasan tersebut, Habiburokhman meminta persetujuan seluruh anggota panja untuk menyepakati penghapusan pasal terkait.
“Pasal 6. Ya udah disepakati, udah enggak ada lagi penyidik tertinggi dan yang dipilih presiden udah enggak ada lagi ya. Udah, ini udah disesuaikan kan dengan yang kejaksaan sama ya? Oke?” ucapnya.
“Setuju,” jawab para anggota panja secara serempak.
Dengan keputusan ini, pembahasan RKUHAP akan berlanjut ke pasal-pasal berikutnya, sembari menyesuaikan harmonisasi antara lembaga penegak hukum agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dalam sistem peradilan pidana nasional.

