DPRD DKI Tuntaskan Pembahasan Raperda RUED

Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta menuntaskan pembahasan tujuh pasal di dalam Rancangan Perda (Raperda) tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED).

Ketua Badan Bapemperda DPRD DKI Jakarta, Pantas Nainggolan, menjelaskan, tidak ada perubahan pasal yang signifikan dalam pembahasan kali ini. Namun ada beberapa sasaran pengelolaan energi yang harus direvisi akibat tidak dilanjutkannya pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah atau Intermediate Treatment Facility (ITF) Sunter dan beralih ke metode Refuse Derived Fuel (RDF).

Salah satu poin yang direvisi yakni dari pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) dengan target total kapasitas 35 megawatt pada tahun 2025 menjadi pembangunan pengelolaan sampah hingga 8.000 ton perhari menjadi energi atau bahan bakar alternatif.

“Satu sisi kita sudah mencoba merencanakan pembangkit listrik tenaga sampah mulai tahun 2000 tapi sampai dengan tahun sekarang belum ada yang berdiri, sementara masalah sampah sudah menuntut penanganan segera,” ujarnya di gedung DPRD DKI Jakarta, Selasa (22/8).

Namun, Pantas menyakini apabila suatu saat Jakarta akan membangun ITF, maka payung hukum ini masih bisa dipergunakan. Ia juga berharap dengan lahirnya Perda RUED Jakarta akan memiliki ketahanan energi yang baik dan ramah lingkungan.

“Tapi kalau nanti ada teknologi yang lebih murah, lebih ramah lingkungan gak apa-apa dipakai. Kedepan saya berharap supaya kita punya ketahanan dibidang energi, tentunya yang ramah lingkungan dengan menggunakan energi baru terbarukan (EBT),” katanya. 

Tahapan selanjutnya, Raperda RUED akan dibahas dalam rapat pimpinan gabungan (Rapimgab) untuk disetujui dan dikonsultasikan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

“Setelah rapim, nanti akan difasilitasi ke Kemendagri agar bisa segera kita sahkan dalam waktu dekat,” tutur Pantas.

Di kesempatan yang sama, Kepala Unit Pengelolaan Sampah Dinas LH DKI Agung Pujo Winarko menyampaikan kekurangan apabila Pemprov tetap memakai pengelolaan sampah energi listrik (ITF) yakni pengeluaran biaya investasi (capex) yang tinggi sekitar Rp3,7 sampai Rp6,7 triliun, serta biaya operasi (opex) sekitar Rp276 sampai 375 miliar pertahun. Sementara RDF hanya memerlukan capex Rp1,03 triliun dan opex Rp114 miliar pertahun.

“Lalu (ITF) tidak bisa menerima sampah yang basah, sedangkan karakter sampah di DKI Jakarta sangat basah. Sehingga memerlukan pre-treatment sampah karena sampah basah,” ucapnya dilansir dari laman DPRD DKI.

Selain itu, ITF juga berpotensi menimbulkan pencemaran udara (dioksin dan furan), sementara residu RDF dapat dimanfaatkan dengan pengelolaan lebih lanjut. Durasi pembangunan ITF juga lebih lama dibandingkan RDF. 

“Serta memerlukan durasi pembangunan lebih lama, bahkan sampai 48 bulan. Kalau RDF 11 bulan saja. ITF juga bergantung kepada Kesediaan PLN membeli listrik hasil dari ITF, tetapi pendapatannya untuk operator bukan Pemprov. Namun Pemprov harus membayar tipping fee,” tandasnya.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini