Ekonom Nilai Target Pertumbuhan Ekonomi 5,3 Persen Era Prabowo Sulit Tercapai

Intime – Ekonom Ferry Latuhihin menyoroti langkah Presiden RI Prabowo Subianto yang merevisi target pertumbuhan ekonomi tahun 2025 menjadi 5,3 persen.

Revisi tersebut ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2025 tentang perubahan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025, yang diundangkan pada 30 Juni 2025.

Dalam aturan itu, Presiden Prabowo tidak hanya mengubah target pertumbuhan ekonomi, tetapi juga target defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 serta nilai tukar rupiah.

“Target-target pertumbuhan ekonomi pemerintah 8 persen, lantas direvisi jadi 5,3 persen, tidak akan pernah tercapai,” ujar Ferry kepada awak media, Jumat (19/9).

Menurut Ferry, ketidakmungkinan tercapainya target tersebut disebabkan oleh kebijakan fiskal dan moneter yang belum mampu mendorong pertumbuhan. Ia menilai masalah utama justru bersifat struktural dan kelembagaan.

“Fiscal and monetary policy tidak bisa ngangkat. Problemnya itu struktural and institutional,” jelasnya.

Ferry menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan transformasi struktural jika ingin mewujudkan target pertumbuhan ekonomi ambisius.

Kata dia, transformasi itu berupa pergeseran sumber daya produktif mulai dari sumber daya alam, lahan, modal, tenaga kerja, hingga keahlian. Dari aktivitas ekonomi berproduktivitas rendah menuju aktivitas berproduktivitas tinggi.

We need a structural transformation: the movement of productive resources (natural resources, land, capital, labour, and know-how) from low-productivity to high-productivity economic activities,” katanya.

Namun, Ferry mengakui upaya tersebut tidak mudah dilakukan karena terhambat institusi-institusi politik. Ia memperkirakan reformasi struktural baru bisa terealisasi dalam jangka waktu puluhan tahun.

“Tapi terjegal institusi-institusi politik. Tidak gampang. Butuh puluhan tahun,” tegasnya.

Lebih lanjut, Ferry bahkan memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia justru akan bergerak ke lintasan baru di sekitar 2 persen.

Ia menyebut sejak era Presiden Soeharto telah terjadi akumulasi masalah yang menumpuk dan hingga kini masih menjadi beban bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

“Sementara negara-negara lain macam Vietnam dan India makin sexy untuk FDI. Kita malah bisa dapat status To Be Avoided,” ucapnya.

Ferry juga mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya 3 persen berpotensi memicu gejolak sosial karena angkatan kerja baru tidak terserap secara optimal.

“Pertumbuhan 3 persen aja bisa bikin social unrest tiap hari. Pertumbuhan labor force tidak terserap,” pungkasnya.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini