Intime – Ketua Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Bumiputera Nusantara Indonesia (Asprindo) Prof Didin S Damanhuri, menilai perekonomian Indonesia sepanjang 2024–2025 mengalami stagnasi. Indikasi tersebut terlihat dari pertumbuhan ekonomi yang hanya bergerak di kisaran 5 persen dalam dua tahun terakhir.
“Pertumbuhan ekonomi selama tahun 2023 dan 2024 secara berurutan 5,05 persen dan 5,03 persen, sesuai laporan Badan Pusat Statistik. Ini menunjukkan stagnasi,” ujar Prof Didin di Jakarta, Jumat (14/11).
Menurutnya, stagnasi ekonomi menyebabkan rendahnya penyerapan tenaga kerja dan meningkatkan jumlah pengangguran. Sepanjang tiga tahun terakhir, baik di masa pemerintahan Presiden Jokowi (2023–2024) maupun awal pemerintahan Presiden Prabowo (2025), pertumbuhan ekonomi konsisten berada di sekitar angka 5 persen.
Dengan pertumbuhan sekitar 5 persen pada 2024, tenaga kerja baru yang terserap hanya 2,45 juta orang. Padahal, setiap tahun terdapat 3,5 juta pencari kerja baru, belum termasuk pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau mengundurkan diri.
“Total kebutuhan lapangan kerja mencapai sekitar 10 juta per tahun,” kata Didin.
Kondisi itu membuat jumlah pengangguran terbuka terus meningkat. Data BPS mencatat, awal 2025 jumlah pengangguran terbuka mencapai 7,28 juta orang atau 4,76 persen angkatan kerja, naik 83.000 dari tahun sebelumnya. Selain itu, terdapat 11,67 juta setengah pengangguran, dan 45.426 pekerja yang mengalami PHK.
Sektor informal juga membengkak. Pada 2025 jumlah pekerja informal mencapai 87 juta orang atau 60 persen dari total 152,11 juta angkatan kerja. “Ini terjadi karena pasar kerja formal tidak mampu menyerap tenaga kerja yang masuk,” tutur Didin.
Ia menambahkan, berbagai tekanan eksternal turut memperburuk kondisi tenaga kerja nasional. Beberapa perusahaan disebut tengah merencanakan PHK massal akibat dampak tarif dagang tinggi yang diterapkan Presiden AS Donald Trump, pergeseran perilaku belanja ke online, restrukturisasi karena perkembangan artificial intelligence (AI), serta banjirnya produk tekstil dan pakaian jadi dari China—baik legal maupun melalui penyelundupan.
“Kondisi ini menghambat target pertumbuhan ekonomi tinggi, menurunkan daya beli kelas menengah dan bawah, menekan konsumsi, serta meningkatkan jumlah penduduk miskin,” ucapnya. Ia menuturkan, selama 2024–2025 jumlah kelas menengah berkurang hampir 10 juta orang, menyebabkan mereka menahan belanja akibat tekanan ekonomi dan kenaikan harga-harga pokok.
Sebagai solusi, Didin menilai pemerintah perlu mengoptimalkan faktor pendorong pertumbuhan yang memiliki daya ungkit kuat, yakni belanja pemerintah pusat dan daerah hingga mencapai 100,08 persen agar pertumbuhan ekonomi menyentuh 7,3 persen. Selain itu, realisasi investasi harus didorong hingga 100,16 persen guna memacu pertumbuhan hingga 15,9 persen.
Ekonom INDEF ini juga menyoroti faktor global yang menahan pertumbuhan, seperti konflik Israel–Palestina dan perang Rusia–Ukraina yang mengganggu rantai pasok pangan dan energi, sehingga memicu inflasi impor. Kebijakan tarif tinggi Trump juga memperburuk perlambatan ekonomi global.
“Kedua faktor tersebut memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia, terutama negara-negara mitra dagang utama Indonesia seperti China, India, Malaysia, Eropa, maupun AS. Dampaknya pasti dirasakan Indonesia,” pungkas Didin.

