Intime – Direktur LIMA Indonesia Ray Rangkuti menyoroti pergeseran fundamental dalam cara kerja komunikasi politik di era digital.
Menurutnya saat ini, komunikasi politik di era digital dianggap menguntung banyak politis. Salah satunya dengan bertindak populer dan populis.
Pernyataan ini disampaikan Ray dalam diskusi publik bertajuk “Mencari Titik Temu: Reformulasi Etika Komunikasi Politik dalam Era Politik Baru” di Waroeng Kopi Selow, Jumat (30/5).
“Populisme politik mulai menjelma jadi laku politisi, saat ini. Setelah Jokowi mengenalkan populisme dan memang sukses, kini, Prabowo melanjutkannya. Di beberapa daerah gejala yang sama pun terjadi. Sebut saja populisme ala Kang Dedi Mulyadi (LDM),” ujarnya dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (31/5).
Ray juga menggarisbawahi bahwa sekalipun dunia algoritma telah mengubah lanskap komunikasi politik. Komunikasi politisi Indonesia masih di dalam taraf popularitas, bukan subtansi.
“Dalam bahasa lain, politik populisme punya kecenderungan yang kuat mengabaikan pembangunan dan penguatan institusionalisasi demokrasi. Komunikasi politik populis hanya bersifat sementara, bombastisitas, dan kulit luar saja,” tambahnya.
Direktur Eksekutif ARSC, Dimas Oky Nugroho menegaskan bahwa membangun etika komunikasi politik yang sehat tidak bisa dipisahkan dari upaya membangun fondasi etika politik kebangsaan secara menyeluruh.
“Komunikasi politik yang baik dapat membangun political trust, baik antar kelompok masyarakat maupun antara masyarakat dengan negara. Ini menjadi kunci dalam memperkuat legitimasi dan stabilitas negara-bangsa,” ujarnya.
Lebih lanjut, Dimas menjelaskan bahwa komunikasi politik tidak hanya berfungsi sebagai alat penyampai pesan politik, tetapi juga sebagai instrumen penting dalam meningkatkan partisipasi masyarakat, khususnya anak muda, dalam proses demokrasi.
Ia menekankan bahwa komunikasi politik yang sehat dan efektif oleh aktor-aktor negara dapat menciptakan dinamika politik yang produktif, mencegah polarisasi ekstrem, serta membangun konsensus kebangsaan yang otentik dan berkelanjutan.
Dimas menambahkan, untuk mewujudkan komunikasi politik yang legitimate, para aktor politik dan institusi perlu mengedepankan nilai-nilai transparansi, inklusivitas, keterbukaan terhadap kritik, serta konsistensi terhadap etika kenegaraan dan kebangsaan.
Wakil Ketua HIMPASKOM UI M. Rizky Nugraha mengatakan diskusi ini menjadi penting sebab banyak pejabat yang tidak mengutamakan etika dalam berkomunikasi politik.
“Kami belajar bagaimana etika komunikasi politik di kampus. namun sayang banyak pejabat publik yang kurang beretika dalam berkomunikasi politik. Semata-mata apa yang dilakukan hanya demi mengejar views, klik, dan viralitas. tanpa ada esensi untuk masyarakat. semoga dengan diskusi ini, semakin banyak pejabat publik yang tidak hanya sekadar mencari populisme semata,” ujar dia.