Penerapan sistem proporsional terbuka pada Pemilihan Legislatif (Pileg) selama ini sudah tepat sehingga tidak perlu diubah menjadi sistem proporsional tertutup. Demikian ditegaskan Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah.
“Sistem demokrasi langsung memilih orang itu sudah benar. Itu auratnya demokrasi. Aurat itu harus dijaga, jangan malah yang tidak penting ditutup,” ujar Fahri sebagaimana dikutip dari keterangan tertulisnya, Minggu, (22/1).
Hal tersebut telah dia sampaikan saat menjadi narasumber dalam diskusi yang digelar Moya Institute bertajuk “Pemilu Proporsional Tertutup: Kontroversi”, Jumat (20/1).
Menurut mantan Wakil Ketua DPR RI itu, jika Pemilu 2024 Indonesia kembali menerapkan sistem proporsional tertutup, maka akuntabilitas politik akan rusak.
Ia berpendapat transaksi politik antara rakyat dan pemimpin harus dilakukan secara langsung, tidak melalui perantara partai politik.
“Mandataris hanya bisa muncul kalau pemberi dan penerimanya bisa saling berhubungan langsung,” ujar Fahri.
Sementara itu, pakar hukum dari Universitas Indonesia (UI), Chudry Sitompul, menyatakan, pasal-pasal konstitusi tidak banyak menyinggung mengenai pemilu sehingga muncul kesan persoalan tersebut dilepaskan kepada parlemen dan undang-undang, bahkan terkesan hanya berkaitan erat dengan kepentingan partai politik.
“Sebenarnya, UUD NRI 1945 tidak juga menyentuh partai politik. Akan tetapi dalam ilmu politik dan praktiknya, nyatanya partai politik itu penting,” ujar Chudry.
Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto menilai sistem proporsional tertutup ataupun terbuka pernah dipraktikkan sejak awal reformasi sampai sekarang dalam kehidupan politik bernegara Indonesia. Meskipun begitu, Hery berpendapat kedua sistem politik pemilu tersebut tidak ada yang sempurna dan apa pun nanti yang dipilih harus dapat meningkatkan kualitas demokrasi.