Fenomena Absennya Lagu Baru dari Band Indonesia

Sebuah band ternama yang sempat merajai perpanggungan Indonesia pada dekade 2000an menjawab sebuah pertanyaan yang diajukan oleh komika Praz Teguh dalam podcastnya yang berlatar Warung kopi. Menjadi pertanyaan besar mengapa kecenderungan saat ini jarang sebuah band merilis lagu baru hingga booming seperti yang terjadi di dekade-dekade sebelumnya. Salah satu personel yang dikenal kidal dalam memetik gitar lantas menjawab dengan nada pesimis menjelaskan bahwa hingga saat ini bandnya tetap merilis karya, bahkan terdapat 4 lagu yang baru saja dirilis, salah satunya berjudul KaVir (Kamu Viral). Namun, menurutnya terdapat perbedaan kecenderungan saat pengaruh algoritma turut mengintervensi jalannya pemasaran sebuah lagu hingga selera publik. Faktor lain, jika sebelumnya terdapat seperangkat label yang siap mengurusi segala aktivitas band, saat ini seperti sudah jarang ditemukan metode demikian. Hampir semua sumber daya manusia berjalan secara mandiri sesuai strategi dan berikut ‘mungkin’ pengetahuannya.

 

Pertanyaan serupa juga sempat disampaikan oleh duo musisi yang namanya menjadi akronim kanal Youtube serta perusahaan konten media. Musisi belia dan juara kontestasi idol di Indonesia lantas menjawab pertanyaan tersebut dengan menyebut sejumlah musisi baru yang dalam beberapa waktu terakhir merilis lagu atau album, seperti Perunggu, Juicy Lucy ataupun The Jansen. Jawaban tersebut nampaknya belum memuaskan sang penanya karena ekspektasi yang diharapkan adalah munculnya kembali band established yang banyak terjadi pada era 90 atau 2000an. Bahkan dalam tingkatan internasional juga, sang penanya menambahkan belum ada lagi band baru yang kehadirannya membuat semua mata tertuju.

 

Di sisi lain, the one and only master mister yang mengklaim bandnya selalu sold out dalam setiap konsernya baru-baru ini juga ‘menyenggol’ sebuah band jebolan pencarian bakat yang sempat ditayangkan di Tv7 (Sekarang Trans 7). Pakde, sapaan akrabnya menyinggung beberapa setlist lagu yang diunggah oleh band tersebut pada sebuah unggahan di Instagram dengan menyebut bahwa membawakan lagu ciptaan seseorang tanpa ijin pencipta adalah tindakan tidak punya etika dan melanggar hukum hak cipta. Terlepas dari konflik yang sedang berjalan antara mantan personel dan band, terdapat fakta bahwa setlist yang mereka mainkan kerap membawakan wonder hits, ketimbang karya-karya barunya. Bisa jadi karena hal tersebut terimbas oleh perilaku konsumen saat ini yang sangat berbeda dengan periode sebelumnya. Menjual romantisme memory juga sedang hits menjadi tema dari sejumlah festival yang saat ini menjamur di berbagai kota.

 

Jika mau mengabsen ulang, absennya lagu baru juga hingga kini masih ditemukan di sejumlah band kenamaan Indonesia dengan tetap mengandalkan setlist lamanya sebagai gimmick panggung. Cokelat yang comeback dengan formasi album ke-3, Padi yang reborn dengan karya-karya lama, hingga Sheila on 7 yang terakhir kali mengeluarkan karya pada 2018 silam. Bahkan, Noah yang sempat mengalami kejenuhan dalam menulis lirik akhirnya merilis ulang lagu-lagunya saat masih bernama Peterpan dan kini memilih vakum. Pun yang dialami oleh Ungu selepas Pasha menjabat sebagai Wawali, deretan lagu lama masih belum bisa dikalahkan popularitasnya meski mereka terus berkarya, bahkan belum lama ini band berlogo dua tanduk ini merilis lagu dengan lirik bahasa jawa.

 

Dua sisi musisi: idealis dan komersil.

 

Saya termasuk meyakini bahwa dibalik absennya lagu-lagu baru yang muncul ke permukaan terdapat segudang karya yang masih belum dilepas oleh si empunya. Secara idealis, seorang musisi selalu berusaha melahirkan karya meski dianggap belum seberapa atau mungkin kurang paripurna. Namun secara komersil, musik adalah produk bisnis yang tak bisa berdiri sendiri dan butuh pemicu. Pada masa analog hingga transisi digital yang ditandai dengan ‘kuasa’ label rekaman, tidak semua musisi mampu menyentuh dapur rekaman apalagi hingga mendistribusikan dalam lingkup global. Di era sekarang, saat semuanya serba digital dan semua orang bisa menjadi media atau pengantar pesan, ledakan rilisan musik justru dapat berdampak negatif terhadap keberadaan karya tersebut. Berapa jumlah karya yang akhirnya bisa kita ingat dengan seksama, atau diperdengarkan secara repetitif? Kemudian, keleluasaan yang hadir saat tak lagi disetir oleh label justru akan menjadi boomerang sendiri jika tidak bisa memanfaatkannya, hal ini terutama terkait timming atau target waktu. Berapa banyak band independent yang merilis karya dengan teratur secara waktu dibanding dengan yang dalam bahasa lain ‘menunggu waktu yang tepat’ untuk memperhalus molornya jadwal. Faktor lain atau pemicu juga harus menjadi salah satu hal yang diakui mengapa hingga akhirnya sebuah karya menemukan jalannya untuk dikenal publik. Dibutuhkan waktu 3 tahun bagi duo garage Sundancer untuk lagu berjudul Firasat rilisan 2021 menjadi lebih booming lagi saat menjadi OST 24 Jam bersama Gaspar yang dirilis 2024. Pun tak butuh waktu lama bagi band yang awalnya sebagai project, Float untuk dikenal hingga saat ini karena lagu-lagunya di OST Tiga hari untuk selamanya pada 2007 silam.

 

Memang, salah satu keuntungan pernah berada di label musik adalah terdapat exposure yang mungkin masih nangkring dan membekas di publik. Meski hal ini tidak berlaku mutlak karena tetap saja banyak kejadian band berguguran meski dinaungi label. Kembali kepada musik sebagai hal ‘jualan’ atau bisnis. Bahwa kreatif saja tidak cukup, dibutuhkan inovasi yang mampu membuat orang lain tetap melirik bahkan memperluas audience. Jamrud yang kala itu khas dengan musik rocknya tetiba mengeluarkan lagu slow Pelangi di matamu yang bisa jadi bakal dinyanyikan oleh Pak SBY di Pestapora karena merupakan salah satu lagu favoritnya. Coldplay yang sebelumnya bersifat minimalis pada album awal, kini semakin merambah unsur electronic dance yang membawanya keliling dunia, termasuk mampir Indonesia yang mendapat rangking 25 (terakhir) dengan jumlah 77% penonton mengembalikan gelang konser. Bisa jadi, salah satu yang membuat moncer kembali Dewa 19 pasca ditinggalkan Once adalah konsistensi Ahmad Dhani membuat konten video, termasuk sang drummer Agung Gimbal dengan konten drumcam nya, dan kini disusul Yuke Sampurna dengan konten serupa. The Adams, yang sempat vakum selama belasan tahun juga terbantukan dengan kecenderungan banyaknya konten video yang mengulas tentang band dari IKJ tersebut, pun juga dialami oleh band indies RumahSakit. Endank Soekamti yang sudah sejak lama memutuskan untuk independent juga memaksimalkan Youtube sebagai media promosi band. Secara umum, Personal branding hingga kolaborasi menjadi hal yang harus diperhatikan oleh band di era publik yang lebih betah nyecroll TikTok daripada membaca artikel.

 

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini