Intime – Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI terhadap lima anggota DPR nonaktif sudah bisa ditebak sejak awal.
Ia menilai proses sidang yang digelar MKD tampak hanya sebagai formalitas belaka dan tidak menunjukkan kesungguhan dalam menegakkan kode etik parlemen.
“Saya kira keputusan MKD memang sudah bisa diduga sebelumnya. Keputusan sebagaimana dibacakan hari ini nampaknya sudah sejak awal diniatkan oleh MKD,” kata Lucius kepada wartawan, Kamis (6/11).
Menurut Lucius, skema sidang yang disusun MKD terlalu sederhana dan terkesan terburu-buru. Ia menyoroti bagaimana proses persidangan yang hanya digelar dalam waktu singkat, tanpa ruang yang cukup untuk mendalami substansi pelanggaran etik yang dituduhkan kepada para teradu.
“Karena itu mereka menyiapkan skema persidangan yang sangat sederhana. Hanya sehari rapat untuk menghadirkan saksi-saksi. Setelahnya langsung rapat pembacaan keputusan,” ujarnya.
Lucius menilai proses yang cepat itu membuat MKD tidak memberikan kesempatan bagi kelima anggota DPR nonaktif untuk menyampaikan pembelaan diri. Ia juga menyesalkan absennya pakar etika dalam persidangan untuk membantu menilai apakah tindakan para anggota tersebut melanggar kode etik atau tidak.
“Bahkan saking sederhananya, tak ada waktu untuk mendengarkan pembelaan kelima anggota DPR nonaktif. Kan mestinya ada dong waktu bagi anggota DPR terlapor itu untuk membela diri mereka dari tuduhan. Lalu nggak ada pula pakar etika yang dihadirkan untuk menilai tindakan atau perkataan anggota yang diduga melanggar,” tegasnya.
Lucius juga menyoroti arah persidangan yang menurutnya justru berfokus pada isu “hoaks” alih-alih membedah persoalan etika yang menjadi inti perkara. Ia menilai, MKD tampak berupaya mengalihkan persoalan seolah kasus yang mencuat pada akhir Agustus lalu hanyalah akibat dari kabar bohong.
“Jadi kelihatan sekali kalau masalah etikanya tak didalami sungguh-sungguh. Justru persoalan hoaks yang jadi sorotan. Seolah-olah semua yang terjadi, termasuk penonaktifan dari partai, hanya korban hoaks. Padahal yang disebut hoaks itu komentar orang-orang atas peristiwa yang memang benar terjadi,” ujar Lucius.
Ia menegaskan, MKD seharusnya menilai tindakan para anggota DPR berdasarkan kode etik, bukan sekadar mempertimbangkan ada tidaknya pihak yang dirugikan. Menurutnya, tujuan utama kode etik DPR adalah menjaga kehormatan dan wibawa lembaga legislatif.
“Kode etik DPR itu dibuat untuk menjaga kehormatan dan wibawa DPR. Jadi perbuatan atau aksi kelima anggota itu harusnya dikomparasikan dengan kode etik, bukan dengan apakah ada pihak yang dirugikan atau tidak,” tandasnya.
Lucius pun menilai keputusan MKD kali ini menunjukkan bahwa lembaga tersebut lebih berupaya melindungi koleganya sendiri ketimbang menegakkan etika.
“Jadi jelas bahwa keputusan MKD ini dan semua prosesnya memang untuk mengamankan nasib teman sendiri, bukan untuk menegakkan kehormatan DPR,” pungkasnya.

