Intime – Pembina Federasi Pelita Mandiri, Achmad Ismail alias Ais, mengkritik formula baru penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 yang diterapkan pemerintah. Menurutnya, skema pengupahan tersebut belum mampu menjamin kehidupan yang layak bagi para buruh.
Ais menyoroti formula perhitungan upah minimum yang kini menggunakan rumus upah minimum (UM) eksisting ditambah inflasi dan pertumbuhan ekonomi (PE) yang dikalikan faktor alfa.
“Sorotan utamanya formula perhitungan upah minimum sebagai berikut: UM eksisting + inflasi + [PE x alfa],” kata Ais kepada awak media di Jakarta, Kamis (18/12).
Ia menjelaskan, penerapan faktor alfa dalam formula tersebut membuat manfaat pertumbuhan ekonomi tidak sepenuhnya dirasakan oleh buruh. Menurutnya, besaran pertumbuhan ekonomi akan selalu direduksi oleh kebijakan otoritas.
“Artinya, sebesar apa pun prestasi ekonomi nasional, porsinya untuk buruh tetap menyusut,” ujar Ais.
Ais menambahkan, kondisi ini tidak sejalan dengan meningkatnya partisipasi tenaga kerja nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat partisipasi tenaga kerja mencapai 95,15 persen dengan jumlah penduduk bekerja sebanyak 146,54 juta orang.
“Jika upah rata-rata nasional yang saat ini sekitar Rp3,33 juta per bulan bisa diperbaiki, pertumbuhan ekonomi berpotensi terdorong lebih cepat,” kata dia.
Selain itu, Ais menilai upah minimum yang ditetapkan berpotensi belum mampu menjangkau biaya hidup layak buruh. Mengacu pada standar biaya hidup BPS, upah minimum nasional diproyeksikan masih tertinggal sekitar 20–30 persen dari kebutuhan riil rumah tangga buruh.
“Bahkan survei tim buruh menunjukkan kesenjangan ini bisa lebih besar. Padahal Presiden menekankan kesejahteraan buruh agar bisa tidur tenang karena penghasilannya cukup. Formula baru ini belum mengakomodasi target tersebut,” ujarnya.
Ais juga mengingatkan bahwa dengan formula penetapan saat ini, daya beli buruh berisiko tetap tertekan. Kenaikan upah minimum dinilai belum mampu mengangkat kemampuan buruh untuk memenuhi kebutuhan hidup secara layak.
“Risiko ini semakin berat jika dihadapkan pada kenaikan harga barang dan jasa. Daya beli rumah tangga buruh dipastikan akan tergerus lebih dalam,” katanya.
Dengan demikian, Ais menegaskan bahwa formula pengupahan baru belum cukup menjadi daya ungkit bagi peningkatan kesejahteraan buruh. Ia menilai upah minimum idealnya mampu memperkecil ketimpangan antara pendapatan dan biaya hidup rumah tangga buruh.
“Apalagi jika formula tersebut dapat dieskalasi dengan penambahan faktor kesejahteraan tertentu yang ingin lebih dulu dicapai,” pungkas Ais.

