Gemuruh suara ratusan ribu kader Partai NasDem memekik kencang. Memecah tebal tembok Gelora Bung Karno (GBK). Mendengung hingga ke seantero negeri. Dan sialnya, saya belum juga move on dari kemeriahan Apel Siaga Partai NasDem pada Minggu (16/7) itu.
Oleh: Achmad Rizki, bacaleg NasDem Dapil 8 dan eks wartawan Jawa Pos
Tahap demi tahap langkah Partai NasDem memenangkan Anies Baswedan di Pilpres 2024 berjalan smooth. Serangan lawan politik memang belum juga mereda. Bahkan cenderung meningkat seiring semakin dekatnya waktu pesta demokrasi lima tahunan.
Saya belum benar-benar bisa melupakan momentum apel siaga itu. Ada banyak kesan yang saya dapatkan, baik sebagai kader partai NasDem maupun sebagai salah satu kontestan calon anggota legislatif DPRD DKI. Mula-mula, saya mengagumi kemampuan sosok di balik layar acara itu. Dia adalah Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai NasDem, Ahmad Ali.
Hanya dalam waktu dua minggu ia mampu menggerakkan massa mencapai 250 ribuan. Lalu, acara itu berjalan begitu baiknya. Mulai dari menyiapkan umbul-umbul sampai memastikan ratusan ribu kader NasDem se-Indonesia dapat hadir dengan aman di arena Apel Siaga Perubahan. Bagi sosok seperti Ahmad Ali tentu mengelola semua itu bukan perkara yang sulit-sulit amat.
Selain soal acara Apel Siaga Perubahan, penampilan calon presiden Anies Baswedan di panggung orasi politiknya tak kalah mengesankan. Di luar espektasi saya. Mantan Gubernur DKI itu tampil beda dari sebelum-sebelumnya. Tak seperti dugaan saya sebelumnya: Anies akan melontarkan kritik-kritik tajam. Ternyata dugaan itu salah.
Waktu Anies di podium justru didominasi oleh doa. Seorang analis politik mengatakan, “Cara Mas Anies itu adalah sebuah pilihan yang matang, cerdas, dan sehat”. Bagi saya, cara Anies itu merupakan terjemahan langsung dari visi perubahan yang ia usung. Bukan hanya pada gagasan perubahan kebijakan, tetapi ia mulai dari public speaking di panggung orasi. Anies tidak menjadikan panggung orasi politik itu sebagai benteng kokoh untuk melontarkan peluru-peluru tajam menusuk jantung kekuasaan. Padahal, itu lazim digunakan selama ini.

Anies mulai meninggalkan cara-cara lama itu. Mantan Rektor Universitas Paramadina mulai menggeser pakem yang jadi pegangan elite politik selama ini. Dan rasanya itu pilihan tepat. Dengan demikian, Anies mulai meletakan dasar-dasar perubahan dan perkembangan baru dalam berpolitik.
Doa menjadi bahasa simbol atas refleksi Anies terhadap keadaan, baik masyarakat maupun negara. Bahasa simbolik itu lalu ia terangkan kepada publik melalui doa kepada Tuhan YME.
Sebuah pilihan yang cerdas. Sebab, doa sangat dekat dengan setiap pribadi, setiap orang. Doa adalah ekspresi perasaan hati manusia atas situasi yang belum bisa ia atasi, setidak-tidaknya saat ini.
Karena itu, doa Anies berdimensi vertikal dan horizontal sekaligus. Pertama, Anies menyandarkan kepada Tuhan YME atas perasaan orang-orang yang ia wakili dalam doanya. Kedua, Anies mewakili orang-orang yang ia sebut dalam doanya atas penderitaan, kesulitan hidup, kekurangan, kenestapaan, kemalangan yang mereka rasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Anies membahasakan perasaan publik itu dengan cara yang kreatif. Dan itu cara yang jenius. Mas Anies tidak menempatkan diri berhadap-hadapan dengan kekuasaan ataupun lingkungan kekuasaan Presiden Jokowi. Ia memilih mendengungkan perasaan publik itu pada kekuasaan langit, jauh di atas kekuasan politik Presiden Jokowi. Dengan demikian, Anies tak memantik serangan balik dari pengikut lawan politiknya.
Akhirnya, Apel Siaga Partai NasDem di GBK itu telah memberikan banyak pelajaran politik. Anies benar-benar meletakkan visi perubahan politik sebagai arena pertarungan gagasan dan mencatat rekam jejak tentang pilihan orasi politik yang dilahirkan dari proses kreativitas yang tinggi.