Intime – Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jakarta Selatan menyerukan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto untuk mengembalikan jati diri Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai kekuatan pertahanan profesional yang tunduk pada supremasi sipil, sesuai amanat reformasi 1998.
Ketua GMNI Jakarta Selatan, Dendy Se, menilai peringatan HUT ke-80 TNI seharusnya menjadi momentum refleksi atas perjalanan reformasi militer, bukan sekadar ajang glorifikasi kekuatan bersenjata di tengah kemunduran demokrasi.
“Dalam praktik pemerintahan hari ini, semakin tampak kembalinya Dwi Fungsi TNI gaya baru bahkan Multifungsi melalui penempatan perwira aktif di jabatan sipil, keterlibatan dalam program ekonomi rakyat, hingga perluasan struktur komando teritorial yang berlebihan,” kata Dendy dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu (5/10).
Atas kondisi tersebut, GMNI Jaksel menyampaikan empat tuntutan utama kepada Presiden Prabowo sebagai Panglima Tertinggi TNI. Pertama, GMNI mendesak agar TNI dikembalikan ke barak dan tunduk sepenuhnya pada supremasi sipil.
“GMNI Jaksel menolak keras penempatan perwira aktif maupun purnawirawan dalam jabatan sipil, BUMN, atau lembaga non-pertahanan. Praktik semacam ini mengingkari semangat reformasi dan berpotensi mengancam demokrasi sipil,” tegas dia.
Kedua, GMNI meminta ditegakkannya akuntabilitas dan transparansi peradilan bagi anggota TNI yang terlibat tindak pidana umum. Menurut Dendy, mereka harus diadili secara terbuka di peradilan umum, bukan di pengadilan militer tertutup, demi menghapus impunitas.
Ketiga, GMNI menuntut Presiden Prabowo menghentikan praktik bisnis militer dan pelibatan TNI dalam program-program sipil, seperti Program Makan Bergizi Gratis (MBG). GMNI menilai keterlibatan militer dalam urusan sipil bertentangan dengan prinsip demokrasi dan profesionalitas pertahanan.
“Karena menunjukkan bentuk intervensi militer dalam urusan sipil bertentangan dengan prinsip demokrasi dan profesionalitas pertahanan,” ungkap dia.
Selain MBG, GMNI juga menolak keterlibatan TNI dalam proyek ekonomi rakyat seperti Food Estate, Koperasi Merah Putih, dan penyaluran bantuan sosial.
Kata dia, fokus TNI adalah menjaga kedaulatan negara, bukan menjalankan bisnis di sektor pangan, koperasi, atau sosial.
Keempat, GMNI mendorong penghapusan struktur komando teritorial (Kodam, Korem, Kodim, hingga Koramil) yang dianggap tidak relevan dengan ancaman pertahanan modern. Menurut Dendy, struktur itu justru memperkuat kontrol militer terhadap kehidupan sipil di daerah dan menghambat demokratisasi.
“Sistem komando teritorial sudah tidak relevan dalam konteks ancaman global modern yang bersifat siber dan non-konvensional. Negara seharusnya memprioritaskan modernisasi alutsista dan kesejahteraan prajurit, bukan memperluas struktur komando,” ujarnya.
GMNI Jaksel juga mengecam tindakan represif aparat terhadap petani, buruh, mahasiswa, dan aktivis yang memperjuangkan hak atas tanah dan demokrasi. Dendy menilai kekerasan dan kriminalisasi yang melibatkan unsur militer maupun aparat keamanan menandakan belum tuntasnya reformasi sektor pertahanan dan keamanan.
“Delapan puluh tahun usia TNI harus menjadi momentum untuk menegakkan kembali reformasi militer sejati. Presiden Prabowo memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk menghentikan praktik bisnis militer, menghapus komando teritorial warisan Orde Baru, serta menghentikan represifitas terhadap pejuang agraria dan demokrasi,” pungkas Dendy.