Intime – Greenpeace Indonesia menyatakan bahwa kombinasi cuaca ekstrem akibat Siklon Tropis Senyar dan kerusakan lingkungan menjadi penyebab utama banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November.
Organisasi lingkungan tersebut menegaskan bahwa bencana serupa akan terus berulang apabila pemerintah tidak menghentikan praktik deforestasi di Sumatra, Kalimantan, dan Papua.
Kepala Global Kampanye Hutan Indonesia Greenpeace, Kiki Taufik, menyampaikan duka cita mendalam kepada seluruh korban yang terdampak bencana.
“Kami turut berduka dan sama-sama berdoa, semoga masyarakat yang mendapatkan musibah ini segera mendapatkan pertolongan,” ujar Kiki di Jakarta, Minggu (30/11).
Menurut Kiki, cuaca ekstrem memang menjadi pemicu awal banjir. Siklon Tropis Senyar yang muncul pada 25–27 November di Selat Malaka menyebabkan peningkatan curah hujan ekstrem yang berdampak hingga Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, bahkan Malaysia. Namun ia menegaskan bahwa kerusakan lingkungan memiliki kontribusi yang jauh lebih besar.
“Penyebab utamanya adalah karena daya dukung wilayah DAS di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat ini sudah tidak lagi seimbang,” ucapnya.
Kiki menjelaskan bahwa perubahan tutupan hutan di wilayah hulu berlangsung masif selama bertahun-tahun. Data Greenpeace menunjukkan hutan alam tersisa di Sumatra kini tinggal sekitar 11,6–12 juta hektare, atau hanya 24 persen dari total hutan alam Indonesia. “Sebanyak 75 persen lainnya sudah berubah fungsi,” tambahnya.
Menurutnya, perubahan fungsi terbesar berasal dari perkebunan sawit, disusul hutan tanaman industri (HTI) dan pertambangan. Adapun pemukiman atau pertanian masyarakat dinilai berkontribusi sangat kecil terhadap hilangnya tutupan hutan.
Ia menyoroti wilayah Sumatera Utara sebagai salah satu kawasan paling terdampak deforestasi. Kiki menyebut keberadaan PT Toba Pulp Lestari (TPL), aktivitas pertambangan ilegal, serta pembangunan PLTA Batang Toru sebagai faktor yang memberikan dampak paling signifikan terhadap degradasi lingkungan.
“Sebelumnya sudah ada penolakan dan permintaan kepada pemerintah untuk menutup TPL, karena masyarakat sudah merasakan dampaknya,” kata Kiki.
Greenpeace juga mendesak pemerintah untuk meninjau kembali izin-izin konsesi yang berpotensi menyebabkan deforestasi. Menurut Kiki, kerusakan hutan yang terjadi telah berlangsung sejak 1990 dan terus berulang hingga kini.
“Dalam kondisi krisis iklim seperti sekarang, perubahan cuaca sangat cepat dan sulit diprediksi. Pada musim basah seperti ini, banjir bandang akan semakin sering terjadi,” ujarnya.
Di akhir pernyataannya, Kiki mempertanyakan roadmap pemerintah dalam upaya penyelamatan lingkungan hidup serta menyoroti minimnya transparansi data perizinan.
“Data ini seharusnya dapat diakses publik. Tetapi data-data tertentu, termasuk izin-izin konsesi, dikecualikan. Kalau data saja tidak transparan, bagaimana kita bisa memonitor dan mengawasi,” pungkasnya.

