Intime – Banjir bandang yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025 diduga disebabkan karena adanya aktivitas pembalakan hutan yang sangat masif.
Kepala Global Greenpeace untuk Kampanye Hutan Indonesia, Kiki Taufik, menyatakan bahwa saat ini hutan alam tersisa di Sumatera hanya sekitar 11,6–12 juta hektare, atau 24 persen dari total hutan alam Indonesia.
“24 persen? Ya, betul. Sekitar 75 persen hutan alam Sumatera telah berubah fungsi,” ujar Kiki dalam perbincangan dengan Kompas TV, belum lama ini.
Menurutnya, perubahan terbesar terjadi akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit, disusul perkebunan kayu industri (HTI), dan pertambangan. Sementara itu, alih fungsi lahan untuk pemukiman dan pertanian warga berkontribusi relatif kecil dibandingkan tiga sektor industri tersebut.
Kiki menegaskan bahwa kerusakan hutan di Sumatera bukanlah fenomena baru. Deforestasi terjadi secara masif sejak tahun 1990 dan terus berlanjut hingga saat ini.
“Kita bisa melihat lebih detail bahwa tutupan hutan yang berubah di Sumatera memang tidak terjadi dalam waktu singkat. Puluhan tahun deforestasi berlangsung tanpa jeda,” ujarnya.
Dari sejumlah perusahaan yang dinilai memberi dampak signifikan, Kiki menyoroti satu yang paling mencolok di Sumatera Utara, yakni PT Toba Pulp Lestari (TPL). Perusahaan yang bergerak di sektor kayu untuk industri pulp and paper ini memiliki kawasan operasi yang luas, terutama di wilayah hulu Tapanuli.
Menurutnya, sejumlah masyarakat lokal telah lama menyuarakan protes terhadap keberadaan TPL. Mereka meminta pemerintah menutup perusahaan tersebut karena dianggap menyebabkan kerusakan lingkungan dan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat sekitar.
“Beberapa waktu yang lalu ada masyarakat yang menolak dan meminta pemerintah menutup TPL karena mereka sudah merasakan dampaknya,” kata Kiki.
Greenpeace mendesak pemerintah untuk mengevaluasi industri ekstraktif di Sumatera serta memperketat perlindungan hutan tersisa guna mencegah krisis ekologis semakin parah.

