Intime – Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk segera membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dengan melibatkan partisipasi publik yang bermakna.
ICJR menilai waktu pembahasan RUU tersebut semakin sempit, sementara urgensi pengesahan semakin besar.
“RUU Perampasan Aset sudah masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2025, namun hanya tersisa sekitar empat bulan sebelum tahun berganti. Jika tidak segera dibahas, ada risiko RUU ini kembali mengawang tanpa kejelasan,” ujar pernyataan ICJR yang diterima, Rabu (10/9).
ICJR menegaskan pembahasan RUU tidak boleh dilakukan terburu-buru dan serampangan. DPR diminta transparan dalam membuka informasi terkait perkembangan pembahasan agar publik dapat mengawasi proses legislasi tersebut.
ICJR juga mengingatkan, naskah akademik dan draf RUU yang telah disusun pada periode sebelumnya tidak perlu dirombak secara total. Hal ini dinilai penting untuk mempercepat proses dan mencegah RUU disusun hanya demi kepentingan elit politik.
Lebih lanjut, ICJR menilai pembahasan RUU Perampasan Aset harus berjalan beriringan dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Keduanya dinilai memiliki irisan substansi, mulai dari kewenangan penegak hukum, status aset hasil tindak pidana, hingga mekanisme pembuktian.
“Jika tidak dibahas bersamaan, akan terjadi potensi tumpang tindih aturan yang menimbulkan ketidakpastian hukum,” lanjut ICJR.
ICJR menyoroti sejumlah isu penting yang perlu diperhatikan DPR dalam pembahasan, antara lain:
1. Kualifikasi aparat penegak hukum (APH) dan lembaga pengelola aset. ICJR menilai kewenangan Kejaksaan RI sebagai pengelola aset terlalu luas dan perlu diawasi ketat agar tidak menimbulkan penyalahgunaan.
2. Aturan terkait unexplained wealth order. Harta pejabat yang tidak jelas asal-usulnya harus dapat dijadikan dasar perampasan aset, selaras dengan instrumen LHKPN yang dimiliki KPK.
3. Batas minimal nilai aset yang dapat dirampas. Ketentuan Rp100 juta dalam draf April 2023 perlu dievaluasi agar sesuai dengan kondisi ekonomi terkini.
4. Mekanisme upaya paksa dan pengawasan. Proses pemblokiran atau penyitaan harus dilakukan hati-hati agar tidak melanggar hak asasi manusia, termasuk melalui peran hakim komisaris.
5. Sistem pembuktian. RUU perlu menegaskan penerapan pembuktian terbalik untuk memastikan keabsahan harta milik tersangka atau terdakwa.
Menurut ICJR, pembahasan yang serius dan partisipatif menjadi kunci agar RUU Perampasan Aset tidak kehilangan esensi sebagai instrumen pemberantasan korupsi dan pemulihan aset hasil tindak pidana.