Ilmuwan dan aktivis politik, Prof. Ikrar Nusa Bakti mengingatkan warga Sumatera Utara (Sumut) untuk menunjukkan keberanian melawan penggunaan aparat negara untuk memenangkan calon yang didukung Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi).
“Tanpa keberanian rakyat, takkan mungkin ada perubahan. Kita harus kembalikan Indonesia ke relnya yang benar dan demokrasi kita bisa laksanakan,” kata Ikrar Nusa Bakti di Forum Demokrasi bertajuk “Selamatkan Demokrasi di Sumatera Utara” yang digelar di Le Polonia Hotel, Kota Medan, Minggu (17/11).
Apa yang dikatakannya tersebut bukanlah dilatarbelakangi soal menang atau kalah dalam pemilu. Tetapi soal bagaimana penggunaan aparat untuk pemenangan calon tertentu akan merusak demokrasi dan ujungnya mengorbankan rakyat.
“Ini bukan soal menang atau kalah dalam pemilu. Tapi bagaimana kita melawan penggunaan aparat negara, aparat desa, aparat ASN, digunakan hanya kemenangan calon yang didukung oleh Jokowi,” katanya.
Padahal, lanjut Ikrar, ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang jelas melarang pejabat negara, Polisi, TNI, hingga aparat desa/kelurahan cawe-cawe di dalam pilkad.
Ikrar juga mengatakan gerakan rakyat perlu dilakukan demi menyelamatkan Indonesia dari penguasa tiran. Ia menjelaskan tiran adalah penguasa yang merasa dirinya berada di atas kekuasaan yang lain.
Ia menyontohkan Raja Louis XIV di Prancis yang menyatakan negara adalah saya, sehingga dia bisa menentukan apa yang dibutuhkan negara
“Sayangnya ini terjadi pada kita sejak 2023, ketika seorang penguasa merasa dia lah yang paling tertinggi sehingga menentukan apa yang harus dilakukan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya. Sampai sekarang ini masih terasa,” bebernya.
“Mengapa tirani ini harus dipatahkan? Masa Indonesia yang satu untuk semua dan semua untuk satu, kalah dengan penguasaan oleh satu keluarga?,” tambahnya.
Ikrar juga menggali memori ketika di 1997/1998, semua rakyat bersatu padu dengan TNI dan Polri untuk merubah Indonesia yang saat itu otoriter menjadi negara demokratis. Sayangnya, demokrasi itu hanya berlangsung selama 26 tahun.
“Dan ternyata ia dihancurkan bukan oleh senjata atau tangan besi kekuasaan, tapi dilakukan pemimpin bangsa yang jabatannya presiden, yang dahulu dielukan Jokowi adalah kita, tapi dia merusak demokrasi Indonesia, sehingga kita masih sulit mengembalikan situasi kedaulatan benar-benar di tangan rakyat, sampai 3-5 kali pemilu ke depan,” pungkasnya