Indef Kritik Rencana Larangan Merokok di Tempat Hiburan, Ancam Sektor Ekonomi Kreatif dan Pariwisata

Intime – Rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk memasukkan tempat hiburan seperti bar, diskotek, dan karaoke ke dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) menuai kritik tajam dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef).

Peneliti Indef, Ahmad Heri Firdaus, menilai kebijakan tersebut dapat menimbulkan kontraksi di sektor hiburan dan pariwisata, terutama di tengah tekanan ekonomi akibat efisiensi anggaran pemerintah.

Ia memperingatkan bahwa pembatasan merokok di tempat hiburan akan berdampak luas terhadap rantai ekonomi yang lebih besar

“Kalau pengunjung berkurang karena tidak boleh merokok, maka permintaan terhadap makanan, minuman, dan produk kreatif juga ikut turun. Ini efek domino,” kata Heri dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (3/8).

Menurut Heri, tempat hiburan malam memiliki karakteristik konsumen dewasa berusia 21 tahun ke atas. Karena itu, regulasi pelarangan merokok dinilai tidak tepat sasaran jika tujuannya untuk menurunkan prevalensi merokok di kalangan usia muda.

“Sasarannya harus relevan. Kalau tujuannya menurunkan angka perokok muda, fokuskan saja ke sekolah, lingkungan pendidikan bukan ke bar atau kelab malam yang konsumennya jelas sudah dewasa,” tegasnya.

Lebih jauh, Heri mengungkapkan bahwa sektor perhotelan dan pariwisata saat ini sudah mengalami tekanan berat akibat penurunan aktivitas seperti perjalanan dinas dan acara luar kantor. Dampaknya, banyak hotel yang tutup, mengurangi jam kerja karyawan, hingga melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Sudah banyak hotel yang tutup atau sepi. Otomatis tenaga kerja dikurangi. Ada yang jam kerjanya dipotong, bahkan di-PHK. Ini berpotensi menambah angka pengangguran,” tambah Heri.

Ia juga mengingatkan pemerintah untuk mempertimbangkan pemberian stimulus ekonomi, terutama untuk sektor-sektor yang terdampak langsung.

“Pemerintah harus kembali menjadi pionir. Misalnya melalui stimulus yang mendorong daya beli masyarakat atau subsidi pembiayaan untuk UMKM. Kalau tidak, sektor ini bisa terus tergerus,” katanya.

Selain itu, Heri mengkritisi pendekatan pemerintah dalam menyusun regulasi terkait produk tembakau. Ia menilai pemerintah masih menyamaratakan produk rokok konvensional dengan produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik atau vape, padahal berbagai kajian menunjukkan profil risiko yang berbeda.

“Rokok elektrik itu tidak melalui proses pembakaran, tidak menghasilkan tar. Risiko kesehatannya tentu berbeda. Tapi sayangnya pemerintah masih melihat semua produk tembakau sebagai satu kesatuan risiko,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Asphija), Hana Suryani, juga menolak wacana larangan merokok di tempat hiburan malam. Ia menilai kebijakan tersebut akan semakin memberatkan industri hiburan yang sudah kesulitan akibat pajak hiburan tinggi di DKI Jakarta.

“Maksud saya gini loh, kita ini lagi butuh bergerak ekonomi kan ya. Pergerakan ekonomi hiburan aja sendiri lagi bermasalah dengan pajak hiburan yang sekarang ini 40 persen di DKI dan menuju 75 persen. Artinya kita ini udah lagi mau mati,” ucap Hana, Selasa (24/6/2025).

Wacana pelarangan merokok di tempat hiburan malam saat ini masih digodok oleh DPRD DKI Jakarta dalam pembahasan Raperda Kawasan Tanpa Rokok. Namun, berbagai pihak mendesak agar regulasi tersebut ditinjau kembali secara matang agar tidak menjadi beban tambahan bagi industri hiburan dan ekonomi kreatif

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini