Intime – Peneliti Center for Sharia Economic Development (CSED) INDEF, Handi Risza Idris, menilai fondasi kebijakan ekonomi syariah di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sudah kuat secara konseptual.
Hal ini tercermin dari integrasinya dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045 dan RPJMN 2025–2029, serta pembentukan dua lembaga strategis yakni Kementerian Haji dan Umrah serta Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang kini berada langsung di bawah Presiden.
Namun, Handi menilai implementasi di lapangan masih menghadapi tantangan besar. Program prioritas nasional seperti Makanan Bergizi Gratis (MBG) dengan anggaran Rp 335 triliun dan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) belum sepenuhnya mengadopsi skema dan sertifikasi halal. Padahal, hal itu penting untuk menjamin keamanan produk serta memperkuat rantai nilai halal nasional.
“Untuk mengoptimalkan potensi industri halal global yang diperkirakan mencapai US$3,36 triliun pada 2028, Indonesia perlu strategi industrialisasi yang lebih agresif,” ujar Handi dalam keterangan tertulis, Sabtu (18/10).
Menurutnya, langkah penting yang perlu dilakukan adalah menetapkan industri halal sebagai program strategis nasional yang didukung oleh roadmap terpadu, mempercepat pengembangan Kawasan Industri Halal (KIH), serta menyusun regulasi payung berbentuk omnibus law ekonomi syariah agar kebijakan lintas kementerian dan lembaga bisa selaras.
Kepala CSED INDEF, Nur Hidayah, turut menyoroti kinerja perbankan syariah pada tahun pertama pemerintahan Prabowo. Ia menilai sektor tersebut menunjukkan kinerja positif, dengan pertumbuhan pembiayaan mencapai 8,13 persen (yoy), melampaui bank konvensional.
“Pertumbuhan ini didorong oleh kebijakan strategis seperti penempatan dana pemerintah Rp 200 triliun di Himbara, pendirian Bank Syariah Nasional (BSN) sebagai second anchor, dan peluncuran Bullion Bank,” jelasnya.
Meski demikian, Nur mengingatkan sejumlah tantangan masih membayangi, antara lain stagnasi market share di angka 7,7 persen, belum terealisasinya transformasi KNEKS menjadi Badan Ekonomi Syariah, serta lemahnya koordinasi kelembagaan.
Ia merekomendasikan percepatan pembentukan badan tunggal penggerak ekonomi syariah, transparansi penyaluran dana Rp200 triliun, dan optimalisasi peran BSN bagi UMKM halal.
Sementara itu, peneliti CSED INDEF lainnya, Murniati Mukhlisin, menekankan bahwa penguatan ekonomi syariah harus berangkat dari level rumah tangga. Ia menyoroti rendahnya literasi keuangan syariah nasional yang masih 43,42 persen, serta kesenjangan digital yang memperlambat inklusi keuangan.
“Fragmentasi kelembagaan dan lemahnya koordinasi antarinstansi seperti KNEKS, BPJPH, serta pemerintah daerah membuat kebijakan ekonomi syariah belum berjalan efektif,” ujar Murniati.
Ia menilai, untuk mempercepat kontribusi ekonomi syariah yang ditargetkan mencapai Rp9.827 triliun terhadap PDB, dibutuhkan tata kelola terpadu, integrasi data melalui National Halal Data Dashboard, dan sinergi pembiayaan yang tepat sasaran bagi UMKM dan keluarga.