INDEF Proyeksikan Pertumbuhan Ekonomi RI di Angka 5 Persen, Tekanan Global dan Domestik Jadi Tantangan 2026

Intime – Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eisha Maghfiruha, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran 5 persen pada 2026. Proyeksi tersebut mencerminkan adanya tekanan eksternal maupun internal yang dinilai masih berpotensi menahan laju pemulihan ekonomi nasional.

“Pertumbuhan ekonomi kami nilai akan berada di sekitar 5 persen. Pertimbangannya adalah meningkatnya ketidakpastian global, kemudian pemulihan konsumsi domestik yang masih rapuh,” kata Eisha dalam paparannya di Jakarta, Jumat (21/11).

Ia menjelaskan bahwa konsumsi domestik, yang sejauh ini masih menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, belum sepenuhnya pulih. Tekanan inflasi yang dipicu oleh harga pangan dan energi disebut masih menjadi ancaman terhadap daya beli masyarakat tahun depan.

“Kondisi ini dapat membatasi daya beli masyarakat pada 2026,” ujarnya.

Dari sisi investasi, INDEF menilai prospeknya belum sepenuhnya ekspansif. Eisha menegaskan bahwa arah investasi yang tidak diarahkan ke sektor produktif akan membuat pertumbuhan ekonomi hanya ditopang oleh proyek-proyek bersifat padat modal yang memiliki efek pengganda (multiplier effect) relatif kecil.

“Kalau investasinya tidak produktif, maka dampaknya ke ekonomi tidak akan besar karena proyek padat modal memiliki multiplier yang kecil,” katanya.

Selain itu, pasar tenaga kerja dinilai masih menghadapi tantangan struktural. Tingginya proporsi pekerja informal serta mismatch antara kebutuhan industri dan keterampilan pekerja menghambat penciptaan lapangan kerja berkualitas.

“Selama karakteristik pasar tenaga kerja tidak berubah, tekanan terhadap penciptaan pekerjaan berkualitas akan tetap tinggi,” imbuhnya.

Dengan mempertimbangkan seluruh faktor tersebut, Eisha menilai ruang akselerasi pertumbuhan ekonomi pada 2026 masih terbatas. Karena itu, pemerintah dinilai perlu memprioritaskan langkah penguatan daya beli masyarakat, mendorong investasi yang lebih produktif, serta memperbaiki kualitas pasar tenaga kerja.

INDEF juga memperkirakan tekanan terhadap nilai tukar rupiah masih akan berlanjut. Eisha menyebut rupiah berpotensi melemah hingga kisaran Rp17.000 per dolar AS pada 2026.

“Geopolitik dan fragmentasi perdagangan kemungkinan masih berlangsung, dan ini meningkatkan aversi risiko investor. Dampaknya, tekanan terhadap rupiah akan tetap tinggi,” jelasnya.

Selain itu, defisit neraca perdagangan nonkomoditas diprediksi berpotensi melebar karena tingginya ketergantungan impor, terutama bahan baku industri dan energi. Kebutuhan impor energi yang meningkat turut menciptakan permintaan dolar yang bersifat struktural.

“Permintaan dolar untuk impor bahan baku dan energi masih tinggi, sehingga memberikan tekanan tambahan terhadap rupiah,” katanya.

INDEF juga memproyeksikan inflasi pada 2026 berada di level lebih tinggi daripada tahun ini, yakni sekitar 3 persen. Eisha mengingatkan bahwa peningkatan permintaan domestik, termasuk dari implementasi MBG, dapat memicu tekanan harga apabila tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas produksi komoditas pangan.

“Jika kapasitas produksi tidak membaik, dorongan permintaan malah bisa meningkatkan inflasi bahan pangan,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa komponen volatile food akan tetap menjadi pendorong utama inflasi tahun depan, selain rencana pemerintah menyesuaikan tarif listrik, BBM nonsubsidi, serta subsidi LPG.

“Ini semua menjadi risiko ke depan terhadap kenaikan inflasi,” pungkasnya.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini