Indonesia Harus Waspadai Dilema Dagang Usai Kesepakatan Tarif dengan AS

Intime – Managing Director Paramadina Public Policy, Ahmad Khoirul Umam, menyampaikan bahwa kebijakan tarif tinggi yang kembali diusung Trump justru membuka ruang manuver baru bagi Indonesia di panggung global.

Meski menghadirkan tantangan signifikan, situasi ini juga bisa menjadi momentum strategis bagi Indonesia untuk meningkatkan peran diplomatik dan ekonomi.

“Kebijakan tarif Trump ini menempatkan Indonesia pada momentum positif, meskipun tidak bisa dilepaskan dari tantangan-tantangan besar yang muncul. Terutama dari negara-negara lain yang memiliki karakteristik ekspor serupa, persaingan semakin ketat dan menuntut kecermatan dalam menyusun strategi perdagangan” ujar Umam dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (7/8).

Ia juga menyoroti dinamika baru dalam hubungan antarnegara, khususnya antara negara-negara di kawasan Asia Timur seperti China, Jepang, dan Korea Selatan. Ketiganya, yang selama ini jarang berbicara dalam satu forum bersama, kini menunjukkan keseriusan untuk merumuskan masa depan kawasan secara kolektif.

Sementara itu, di Eropa, mulai terlihat sikap yang semakin kritis terhadap pola relasi mereka dengan Amerika Serikat.

“Ini menjadi berkah, tetapi berkah yang saya sebut dengan tanda kutip. Karena di satu sisi membuka peluang, namun di sisi lain juga memunculkan ketidakpastian – baik secara ekonomi, politik, maupun geopolitik secara keseluruhan,” tambahnya.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengungkapkan bahwa meskipun Indonesia secara prinsip tetap mempertahankan posisi netral dalam konflik perdagangan global ini, realitas di lapangan menunjukkan adanya pergeseran orientasi ke arah Tiongkok.

Hal ini, menurutnya, disebabkan oleh kemudahan yang ditawarkan Tiongkok dalam hubungan dagang, serta meningkatnya tingkat kepercayaan terhadap negara tersebut.

“Berbisnis dengan Cina sekarang makin mudah daripada berbisnis dengan AS. Pada saat yang sama, kepercayaan kepada Cina pun kini semakin meningkat” ujar Wijayanto.

Namun demikian, Wijayanto menegaskan bahwa Amerika Serikat tetap memegang peran penting dalam hubungan ekonomi Indonesia. Ia mengungkapkan bahwa pada tahun 2024, nilai perdagangan Indonesia-AS mencapai 35,8 miliar dolar AS.

Meskipun lebih kecil dibanding perdagangan dengan Cina yang menyentuh angka 136,2 miliar dolar, neraca perdagangan Indonesia-AS justru menunjukkan surplus sebesar 16,8 miliar dolar yang mencakup 45 persen dari total surplus perdagangan luar negeri Indonesia pada tahun tersebut.

Sebaliknya, dalam hubungan perdagangan dengan Cina, Indonesia mengalami defisit sebesar 11,4 miliar dolar. Namun defisit ini, kata Wijayanto, dikompensasi melalui aliran investasi langsung dari Cina ke Indonesia.

“Meski kita mengalami defisit dalam neraca perdagangan dengan Cina, negara itu menyuntikkan kembali dananya dalam bentuk investasi, yang memberi dampak positif terhadap pembangunan ekonomi nasional” jelasnya.

“Kita tidak bisa bergantung hanya pada satu pihak. Strategi multi-poros dan keseimbangan hubungan dagang menjadi kunci dalam menghadapi era perang dagang global saat ini” pungkasnya.

Sementara itu, Staf Ahli dan Juru Bicara Masalah Ekonomi Kantor Komunikasi Presiden Fithra Faisal Hastiadi menyebut bahwa kesepakatan ini bukan hanya penting bagi Indonesia, tetapi juga menjadi semacam acuan atau trendsetter bagi kebijakan perdagangan Amerika Serikat dengan negara-negara lain seperti Filipina, Jepang, Uni Eropa, dan Korea Selatan.

“Kesepakatan ini menunjukkan bahwa Indonesia berhasil menjadi mitra dagang yang dianggap strategis oleh AS. Ini bukan hanya tentang tarif, tapi juga tentang posisi dan kepercayaan dalam arsitektur perdagangan global” ujar Fithra.

Ia menjelaskan bahwa tarif yang berhasil dinegosiasikan sebesar 15 hingga 20 persen merupakan skenario yang sangat ideal dan mencerminkan hasil maksimal dari upaya diplomasi ekonomi yang dilakukan pemerintah Indonesia.

“Peristiwa kemarin adalah the best deal. Dan kalaupun ada negara lain yang mendapatkan tarif 15 persen, kita memiliki peluang untuk menegosiasikan ulang agar mendapatkan perlakuan yang sama atau lebih baik” tambah Fithra.

Fithra juga menekankan bahwa tarif yang diperoleh Indonesia tergolong lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara pesaing di kawasan, seperti Vietnam yang dikenai tarif sebesar 20 persen. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia dinilai lebih unggul dan dipercaya dalam lanskap perdagangan bilateral oleh Amerika Serikat.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa Indonesia sedang mengupayakan agar produk-produk yang tidak bersaing langsung dengan barang-barang produksi dalam negeri AS – seperti nikel, kayu manis, rempah-rempah, mineral kritis, produk agrikultur, kopi, kakao, dan minyak kelapa mentah – bisa memperoleh keringanan tarif hingga 0 persen.

“Ini akan memberikan dampak langsung bagi pelaku usaha nasional dan tentu menjadi kabar baik bagi rakyat kedua negara. Karena kesepakatan tarif ini bukan hanya menguntungkan Indonesia, tapi juga memberikan nilai tambah bagi konsumen dan industri di Amerika Serikat” tegasnya.

Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Asosiasi Ekonomi Internasional Lily Yan Ing, menilai kesepakatan tarif yang diumumkan awal Juli 2025 justru berpotensi menimbulkan dilema diplomasi dagang bagi Indonesia.

Menurutnya, langkah yang diambil Indonesia dalam memberikan perlakuan tarif khusus kepada AS dapat menimbulkan tanda tanya besar dari mitra dagang lainnya.

“Negara-negara seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, Australia, India, dan mitra dagang lain bisa saja mempertanyakan mengapa perlakuan khusus ini hanya diberikan kepada Amerika Serikat. Ini bisa menjadi preseden yang sangat buruk bagi posisi tawar Indonesia ke depan” ujar Lily.

Karena itu, Lily menyarankan agar pemerintah Indonesia segera melakukan negosiasi ulang terhadap kesepakatan tarif tersebut, dengan mengedepankan prinsip hukum internasional dan asas saling menghormati antarnegara.

Ia menekankan pentingnya menjaga konsistensi dan kredibilitas Indonesia di mata mitra global. Terkait dengan hubungan dagang Indonesia dengan Cina, Lily mengingatkan bahwa negara tersebut juga menghadapi persoalan struktural yang tidak bisa diabaikan.

“Pertama adalah isu overcapacity kapasitas produksi berlebih dan kedua adalah subsidi berlebih pada sektor industri” tegasnya.

Untuk itu, Lily mengusulkan agar Indonesia secara aktif mendorong voluntary export restriction atau pembatasan ekspor secara sukarela dari pihak Cina untuk produk-produk yang bersinggungan langsung dengan sektor padat karya Indonesia seperti garmen, alas kaki, dan produk-produk lain berbasis tenaga kerja intensif.

Lebih jauh, ia juga menekankan pentingnya optimalisasi perjanjian-perjanjian regional yang telah dimiliki Indonesia, seperti ASEAN–China Free Trade Agreement (ACFTA) dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).

Menurutnya, pemanfaatan yang maksimal dari perjanjian-perjanjian tersebut dapat memperkuat daya saing Indonesia di tengah ketegangan dagang global. Selain itu, Lily juga menyoroti potensi strategis keanggotaan Indonesia dalam forum ekonomi BRICS.

Ia berpendapat bahwa forum ini bisa menjadi instrumen tambahan untuk memperkuat posisi tawar Indonesia dalam negosiasi multilateral yang lebih luas dan seimbang.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini